“Mir, beli cemilan, ya.”
Tari menghabiskan liburnya pagi ini di kamar kosan Mira. Pagi-pagi sekali, bahkan sebelum polisi lalu lintas berada di tempat tugasnya, Tari sudah berangkat menuju kosan Mira. Mira bahkan masih menggelepar di tempat tidurnya saat Tari mengetok pintu kamarnya berkali-kali.
Kemudian Mira kembali membawa sekantong cemilan yang baru dibelinya dari mini market di dekat kosannya. Dilemparnya kantong plastik itu tepat di depan Tari hingga Tari yang asik mengganti-ganti channel TV terkejut dibuatnya.
“Ikhlas tidak belinya?” tanya Tari pada Mira yang masih berdiri.
“Ikhlas,” jawab Mira yang tidak sinkron dengan ekspresi wajahnya. “Kenapa kau kemari sepagi ini? Padahal aku mau menghabiskan liburku dengan tidur lebih lama pagi ini. Menjengkelkan sekali.”
“Eiii ... tidak baik tidur terlalu lama,” kata Tari sambil memukul pundak Mira.
Lalu dengan santainya Tari kembali merebahkan badannya di tempat tidur Mira seakan kamar itu adalah kamar miliknya.
“Kau baca ini?” Tari memperlihatkan sebuah buku dongeng yang ditemukannya tidak sengaja di sebelahnya.
“Iya. Aku suka membaca dongeng. Apapun jenisnya dan dari mana pun asalnya.”
Tari terdiam. Dipandanginya buku dongeng di depannya dengan nanar. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya yang tentu saja ada kaitannya dengan dongeng tersebut.
“Kau tahu? Pertama kali aku melihat dongeng ini di toko buku, aku tertarik melihat judulnya. Rahasia Langit dan Matahari. Menarik, bukan? Tiba-tiba aku teringat kau dan Langit. Dan setelah kubaca, kenapa isinya agak mirip dengan kisahmu. Kau tahu dongeng ini?” jelas Mira panjang lebar dan tak sadar dengan perubahan raut wajah Tari yang ada di sebelahnya.
“Hm. Tentu saja aku tahu. Dongeng ini diceritakan secara turun temurun dan sangat terkenal di kota ini,” respon Tari pada akhirnya. “Kisah tentang Langit, Matahari dan sebuah pohon kehidupan. Tentang rasa penasaran yang pada akhirnya memisahkan persahabatan mereka.”
Tentu saja Tari tahu betul tentang dongeng tersebut. Dongeng tersebut sangat populer di lingkungan tempat tinggalnya sejak kecil, tidak ada seorang anak pun yang tidak mengetahui tentang dongeng yang senantiasa diceritakan setiap malam itu. Hingga suatu ketika, anak-anak tersebut tumbuh menjadi remaja, dongeng tersebut berkembang dengan versi mereka. Ada sebuah pohon akasia yang tumbuh di depan SMP Tari dan Langit kala itu, yang Tari dan teman-temannya yakini adalah pohon kehidupan. Pohon kehidupan yang sama seperti yang ada di dalam dongeng.
Tidak ada alasan apa-apa kenapa Tari dan kawan-kawannya menasbihkan pohon tersebut sebagai pohon kehidupan. Hanya imajinasi liar dari anak-anak yang kemudian dibenarkan oleh anak lainnya. Berkembang. Hingga menjadi sebuah mitos.