Jam di tangan Tari menunjukkan pukul 12. Waktunya makan siang setelah dinas pagi yang terasa lebih berat dari hari-hari sebelumnya. Sejak pagi tadi ada banyak sekali pengecekan sampel darah yang harus diselesaikannya. Ia menuju kantin sambil sesekali memijat lehernya yang terasa pegal.
“Mbak, nasi campur satu, ya. Minumnya air mineral saja.”
Setelah memesan menu yang diinginkannya. Tari menuju bangku kosong yang terletak di sayap kanan kantin. Suasana kantin tidak terlalu ramai siang itu.
“Hai.”
Suara Azril yang terdengar tiba-tiba sempat membuat Tari terperanjat dari tempat duduknya.
“Kaget, ya?” tanya Azril disertai tawa.
“Iya. Kaget.” Tari mengusap dadanya.
“Shift pagi atau shift siang nih?” tanya Azril sembari duduk di hadapan Tari sambil membuka jas dokternya. Jas putih kebanggaannya itu diletakkan di sebelahnya.
“Shift pagi.”
“Wah, kayaknya jadwal shift kita sama, ya,” katanya lagi. Tangannya sibuk membuka kaleng kerupuk di meja.
“Sepertinya IGD lagi sibuk-sibuknya ya, Dok? Dari tadi banyak yang lalu lalang ke sana.”
“Iya. Tadi ada satu keluarga yang kecelakaan mobil,” jawab Azril sambil mengunyah kerupuknya. “Eh tapi, tidak usah panggil ‘Dok’ begitu. Terlalu formal. Panggil Azril saja, biar akrab.”
Giliran Tari yang tersenyum. Selama dua tahun bekerja di rumah sakit ini, baru kali ini ada dokter dengan permintaan demikian. “Ini kan lingkungan kerja. Dokter tetaplah dokter, sekali pun dia adikku sendiri.”
Azril pura-pura memasang wajah kecewa. “Jadi selain di rumah sakit, kau akan memanggilku Azril, kan? Kalau kita hanya berdua, panggil Azril juga saja. Biar ngobrolnya enak.”
Tari mengangguk sambil tersenyum. Menyenangkan sekali berbicara dengan dokter satu ini. Berbeda ketika Tari harus berhadapan dengan dokter lain, ada rasa segan terhadap mereka. Tapi Azril berbeda, ia mematahkan seluruh anggapan itu.
“Oh iya, dari mana kau kenal Langit?” tanya Azril membuka topik baru.
“Aku tetangganya. Rumahku berada persis di depan rumahnya.”
“Hmm. Berarti kalau aku ke rumah Langit. Aku boleh ke rumahmu untuk sekedar minum kopi, kan?”
Giliran Tari yang tertawa. “Tentu saja boleh. Jangan minum kopi saja, makan kue juga,” canda Tari.
“Bawa kopi sendiri atau pakai kopi di rumahmu saja, Tar?”
“Kita bawa kopi dari dapur rumah sakit saja,” balas Tari.
Kemudian mereka tertawa persis saat pelayan membawakan pesanan Tari dan Azril. Pelayan yang dikenal dengan nama Mbak Ina itu pun ikut tersenyum melihat kedua anak muda itu larut dalam tawa.
“Ril.”
“Hm?”
Azril urung menyuap nasi campurnya ketika mendengar Tari memanggil namanya.
“Apa Langit tidak pernah bercerita tentang teman-temannya saat kalian sama-sama menjadi mahasiswa?” tanya Tari takut-takut. Sebenarnya ia ingin tahu, apa pernah Langit menyebut namanya walau sekali di depan Azril.
Azril tampak berpikir sejenak. Kemudian menggeleng. “Tidak. Tidak pernah sama sekali. Langit tidak pernah sekali pun bercerita tentang orang lain, baik itu mengenai hal baik apalagi hal buruknya. Dia kelewat pendiam. Misterius.”
“Oh, begitu.” Tari bisa merasakan ada kecewa dalam suaranya barusan. Ia berharap Azril tidak menyadari kekecewaannya.
“Bukannya cewek-cewek suka sama cowok misterius, ya? Pantas saja saat menjadi mahasiswa dulu, banyak yang antri untuk menjadi kekasih Langit.”
Tari spontan membulatkan mata. Terkejut dengan informasi dari Azril. Bersusah payah ia menahan diri untuk bertanya lebih lanjut tentang Langit, juga tentang siapa kekasih Langit semasa kuliah. Bagaimana wajahnya? Apakah ia seorang dokter juga? Berasal dari mana?
Tari buru-buru memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Berharap dengan mengunyah ia bisa mengurangi rasa penasarannya. Walau kenyataannya sekali pun ia sibuk mengunyah, otaknya tetap saja dikelilingi rasa penasaran yang malah makin bertambah.
“Aku pernah mencoba menjadi misterius seperti Langit. Pengin buat cewek-cewek terpikat juga. Tapi kau tahu berapa lama aku bertahan untuk tidak bicara?”
Tari menggeleng. Pertanyaan Azril barusan setidaknya mengalihkan perhatiannya dari rasa penasaran di dalam kepalanya. “Berapa?”
“Tidak sampai tiga puluh menit.” Azril kemudian menyeruput jus jeruknya sebelum melanjutkan kembali. “Aku tidak akan tahan untuk diam lebih lama. Sungguh menyiksa. Menurutmu, aku ini termasuk cowok yang suka bicara, bukan?”
Tari mengangguk mantap tanpa perlu berpikir lama. “Ya. Untuk ukuran seorang dokter, kau termasuk sangat cakap berbicara. Baru kali ini aku bertemu dengan dokter yang begitu hebat dalam berbicara,” jawab Tari jujur dengan memperhalus pengakuannya.
Azril tertawa. “Seharusnya aku jadi reporter berita saja, ya? Kenapa aku jadi dokter?”
Kemudian mereka kembali tertawa. Bersama Azril, waktu jadi benar-benar tak terasa. Tahu-tahu sudah tiga puluh menit berlalu begitu saja.
“Eh, Mira kemana? Biasanya kalian selalu bersama.”