Hari ini jadi, kan?
Tari membaca pesan whatsapp yang dikirim oleh Azril barusan. Bingung harus membalasnya dengan kalimat apa. Sebenarnya, beberapa hari yang lalu Azril mengajaknya untuk nonton bersama saat mereka sedang libur. Dan hari ini, keduanya sama-sama libur.
Tari mematut dirinya di cermin. Ia sudah berdandan rapi sejak sejam yang lalu, tapi matanya yang sembab akibat menangis semalaman belum juga kembali normal. Matanya yang pada dasarnya agak sipit menjadi bengkak hingga bola matanya tak nampak.
“Aih, kenapa mataku bengkak begini?” sesalnya sambil mengacak rambutnya.
Akan tetapi, setelah melewati pertimbangan yang lumayan panjang, Tari akhirnya memutuskan untuk pergi setelah memutuskan untuk mengenakan kacamata berlensa bening untuk menyamarkan matanya yang bengkak. Hitung-hitung sebagai hiburan setelah lelah menangis semalam. Ia harus pergi, Azril menunggunya.
******
“Maaf, Ril. Agak telat. Macet.”
Setelah hampir sejam berada dalam kemacetan, Tari akhirnya sampai di bioskop tempat mereka janjian. Tepat saat ia menapakkan kakinya di bioskop tersebut, Tari bisa melihat Azril melambaikan tangan ke arahnya dengan senyuman ramah seperti biasanya.
“Lang, sini!”
Langit? Apa ini bukan ajakan kencan dari Azril? Kenapa ada Langit? Tari membatin.
Azril melambaikan tangannya kembali. Tari mengikuti arah lambaian Azril dengan perasaan was-was, dan tepat seperti dugaannya, Langit ternyata juga ada di sini. Debaran jantung Tari mulai menggila, apalagi jika ia mengingat kejadian kemarin ketika Langit membelanya dari wanita muda yang hendak menamparnya.
Langit tampak tampan seperti biasanya. Ia mengenakan kemeja biru muda yang lengannya ia gulung sampai siku, hingga memperlihatkan urat-uratnya yang menggoda. Tari istigfar berkali-kali, mencoba menenangkan diri.
“Kena macet juga ya, Lang?” tanya Azril.
“Iya,” jawab Langit seadanya.
“Ini udah lengkap nih? Tidak ada tambahan personel lagi?” tanya Azril mencairkan suasana. “Mira tidak ikut, Tar?”
“Ahh?”
Tari tampak bingung. Bagaimana mungkin ia mengajak Mira? Ia mengira kalau ajakan dari Azril beberapa hari yang lalu adalah ajakan kencan. Mana ada orang kencan yang mengajak teman?
“Ehm, Mira lagi ada urusan,” dusta Tari pada akhirnya.
Tari mengetuk kepalanya berkali-kali karena pikirannya yang over PD. Tidak sadar kalau Langit diam-diam memperhatikan kelakuannya.
Kenapa kau PD sekali sih, Tari? Kencan? Kencan apanya?
Di dalam hati Tari tak henti-hentinya menyalahkan Mira. Ini semua karena kesalahan Mira juga. Mira yang selalu mengatakan kalau Azril menyukainya. Dan perkataan Mira akhirnya menimbulkan imajinasi luar biasa dimana ajakan nonton saja dianggapnya sebagai ajakan kencan.
“Azril?”
Seorang gadis berjilbab peach dan dengan lensa mata cokelat muda menyapa mereka dengan ramah. Senyumannya sangat indah, seindah wajahnya yang putih, mulus, merona dan tanpa noda.
“Anggia? Kau di sini juga?” Azril tampak sangat terkejut melihat gadis cantik itu. Gadis itu mengangguk disertai senyuman.
“Oh iya, Lang, Tar, kenalkan ini Anggia, sepupuku,” tambah Azril. Meperkenalkan Anggia pada dua temannya yang berdiri kaku.
Anggia mengulurkan tangannya ke Tari terlebih dahulu. “Anggia.”
Tari meraih tangan Anggia. “Tari.”
Lalu tatapan Anggia berpindah ke Langit yang berdiri di sebelah Azril. “Kalau Langit tidak perlu dikenalkan lagi. Kami bertemu hampir setiap hari.”
Azril tampak bingung dengan kalimat barusan. Matanya memicing curiga, memandangi Anggia dan Langit bergantian.
“Kalian berdua pacaran?” tebaknya tanpa basa basi.