“Tar, hasilnya kuambil sebentar, ya,” pinta Mbak Risa, salah seorang perawat senior di rumah sakit.
“Oke, Mbak.”
Tari baru saja mengambil sampel darah dari salah satu pasien untuk pemeriksaan leukosit. Awalnya, Tari mengambil darah dengan pipet thoma leukosit. Lalu mengambil lagi larutan turk dan mengocok darah sampai larutan tersebut menjadi homogen. Setelah darah menjadi homogen, ia meletakkannya pada improved neubare atau kamar hitung. Kemudian menunggu beberapa saat lalu membuang kira-kira tiga sampai empat tetes. Lalu dimasukkan kembali pada improved neubare. Dan menunggu hasilnya keluar.
“Tar, besok jadi ikut ke Malino, tidak?” tanya Mira yang muncul dengan tool box di tangannya. Ia baru saja selesai mengambil sampel darah pasien yang berada di kamar lain.
“Duh, sebenarnya malas, Mir,” kata Tari sembari mengingat-ingat kembali kejadian beberapa hari lalu saat ia bertemu Anggia. “Eh sampel darahnya mau pemeriksaan apa itu? Leukosit juga?”
Mira menggeleng. “Pemeriksaan glukosa. Tapi, tempat yang mau kita kunjungi ini dekat dengan tempat Langit bertugas loh.”
Tari tersenyum mengejek sambil memukul pundak Mira. “Eiii, jangan bohong lah kau.”
Mira balas memukul pelan punggung Tari. “Aku serius. Dokter Azril yang bilang.”
Tanpa berpikir dua kali lagi, Tari memantapkan hati. “Kalau begitu, aku ikut juga, Mir.”
*****
Tari, Mira beserta dua dokter intern lainnya menunggu di halte yang terletak di depan rumah sakit sesuai perjanjian. Saling bertegur sapa seadanya. Ini memang bukan pertemuan pertama mereka, beberapa kali sering bertemu tidak sengaja di IGD. Suasana masih cukup canggung, namun kata Mira dua dokter intern ini tidak kalah cerewetnya dengan Azril, dokter Ana dan dokter Fadil namanya. Semoga saja benar apa yang dikatakan Mira.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Azril muncul mengendarai mobilnya. Segala perlengkapan dan koper segera dimasukkan ke bagasi tanpa basa-basi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, mereka harus segera berangkat jika ingin ke tempat wisata hari ini juga.
“Aku lupa untuk mengabari Langit. Belum pesan penginapan juga,” kata Azril di sela sibuknya mengatur barang bawaan teman-temannya.
“Terus kalau tidak dapat penginapan bagaimana?” tanya Ana tidak terima. “Kita tidur di mana?”
“Aku punya keluarga jauh di sana. Jadi sebenarnya kalau masalah penginapan tidak perlu khawatir. Tapi, kan pasti kita tidak akan bebas kalau numpang di sana, makanya mau cari penginapan terdekat dari tempat wisata.”
“Kenapa tidak minta tolong ke Langit saja? Bukannya dia dinas di wilayah sana?” Tari memberi saran yang langsung disetujui oleh keempat orang lainnya.
Azril mengeluarkan ponselnya, memainkan jemarinya di layar, kemudian tidak lama kemudian telepon berdering di ujung sana. Tidak diangkat. Azril melakukan panggilan lagi. Namun secara tiba-tiba Azril memberikan ponselnya ke Tari.
Tari melotot heran. “Apa?”
“Mau ke toilet dulu. Kebelet. Bicara sama Langit ya. Tanyakan penginapan yang murah dan nyaman.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Azril setengah berlari masuk ke halaman rumah sakit, mencari toilet terdekat yang bisa ia temukan. Tari menempelkan ponsel itu di telinganya dengan tangan yang sedikit bergetar. Dalam hati Tari berharap Langit tak mengangkat teleponnya.
“Halo.”
Tuhan nyatanya tidak mengabulkan doa Tari. Di ujung telepon sana, suara berat yang sangat ia kenal terdengar. Tari terdiam. Hendak menutup teleponnya tapi urung dilakukan karena tiga pasang mata sedang menatap ke arahnya.
“Halo?” Suara Langit kembali terdengar.
“Halo, Langit. Ini Tari. Sebenarnya tadi yang menelepon itu Azril. Tapi karena kebelet, dia menyerahkan ponselnya ke aku. Jadi gini kami berencana untuk berlibur ke Malino hari ini. Ada lima orang. Aku, Mira, Azril dan dua dokter intern lainnya. Ini sebenarnya ide Azri, bukan ideku.” Tari menjelaskan panjang lebar dengan satu tarikan napas. Ia takut kalau Langit salah paham dan mengira dirinya yang kegenitan dan merencanakan semua ini.
“Lalu?” Langit merespon dengan jawaban super pendek setelah penjelasan panjang Tari.
“Kalau kau sedang tidak sibuk. Barangkali kau bisa membantu kami mencari penginapan dan menjadi guide.”
“Hari ini?”
Tari mengangguk padahal Langit sudah pasti tak melihat anggukannya. “Iya. Kami berangkat sekarang.”
“Aku ada shift.”
Mendengar jawaban Langit yang seperti penolakan itu, Tari jadi bingung harus menjawab apa. “Oke. Terima kasih. Teleponnya kututup, ya.”
Nihil. Tak ada hasil. Hanya debaran jantung Tari saja yang menggila.
******
Dengan berbekal google map dan kontak yang dikirimkan oleh keluarga jauhnya, Azril sudah mendapatkan penginapan yang sejak tadi menjadi beban pikiran. Perjalanan yang harusnya mereka tempuh tiga jam menjadi empat jam lebih karena sebuah truk pengangkut pasir tidak sengaja menabrak pembatas jalan hingga seluruh muatan pasirnya berjatuhan menghalangi jalan.
“Dengan Pak Bahar?” tanya Azril pada bapak berumur empat puluhan yang berdiri di depan sebuah rumah.
“Iya. Saya Pak Bahar. Apa ini Azril yang tadi menelepon?” tanya bapak yang mengenakan sarung bermotif kotak itu untuk memastikan.
“Iya. Saya, Pak.”
“Rumahnya mau dipakai berapa hari, Nak?”
“Dua hari saja, Pak. Besok sore kami pulang.”
“Ini kunci rumahnya,” kata Pak Bahar sambil menyerahkan sebuah kunci kemudian ia pergi.
Azril memandangi penginapan itu sambil tersenyum lebar. Sepertinya tampak puas dengan pilihanya. Sebenarnya tempat ini tidak nampak seperti penginapan, lebih seperti rumah yang tak dipakai dan kemudian disewakan. Sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu jati dengan tangga lebar ke berandanya. Rumah panggung ini tidak terlalu luas. Dindingnya disusun dari papan dan atapnya berupa seng. Tiang-tiangnya tampak berdiri kokoh walau telah dimakan usia. Rumah tradisional yang sudah sulit ditemukan di kota.
Hampir semua rumah di desa ini adalah rumah panggung berbentuk segi empat memanjang dengan tiang-tiang tinggi memikul lantai dan atap. Sebagian besar konstruksi rumah dibuat secara lepas pasang, dengan tujuan agar bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain tanpa membongkar rumah. Bagi warganya sendiri, rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal melainkan juga tempat manusia dilahirkan, bertumbuh, menikah, hingga kembali ke Sang Pencipta.
Mereka menaiki tangga kayu dengan takjub. Interior di dalam rumah lebih menakjubkan lagi. Pintu dan jendelanya berupa ukiran. Begitu pun dengan ujung tangga.
“Langsung berangkat, yuk!” ajak Azril penuh semangat.
Tidak mau larut dalam ketakjubannya mereka berlima menaruh barwang bawaannya asal karena harus mengejar waktu agar bisa ke tempat wisata pertama tujuan mereka.
Air Terjun Tapakala menjadi tujuan awal mereka. Sekitar setengah jam dari tempat mereka menginap. Air terjun tersebut terletak di kawasan yang hijau nan asri, di dalam hutan tapi tidak terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki setelah memarkirkan mobil di tempat yang sudah di sediakan.
Dari kejauhan, bunyi gemericik air yang jatuh sudah terdengar. Percik-percik air pun mulai mengenai wajah. Gemuruh air terjun dan uap menerpa. Di depan mereka berdiri dengan sangat megah air terjun dengan tinggi puluhan meter. Memberikan sensasi segar dan sejuk dengan pemandangan yang tiada tandingannya.
Di bawah air terjun, kelima anak muda itu menghasbiskan waktu. Bermain air hingga lelah bersama para wisatawan lainnya. Sejenak menghilangkan kepenanatan dari hiruk pikuk kota dan pekerjaan.
*****
Tari dan kawan-kawannya sampai di rumah sewa mereka setelah adzan maghrib berkumandang. Mereka melaksanakan shalat berjamaah lalu membereskan barangnya masing-masing. Untungnya mereka sudah makan di salah satu rumah makan di tempat wisata tadi, jadi tidak perlu repot-repot menyiapkan makan malam.
Hanya ada dua kamar di rumah ini. Jadi satu kamar buat Tari, Mira dan Ana. Satu lagi buat Azril dan Fadil. Ana sedang di kamar mandi. Sedangkan Tari dan Mira mulai menyusun baju-bajunya.
“Tar, aku kok tidak suka ya dengan cara Pak Bahar memandangi kita,” ucap Mira sambil melipat selimutnya.
Karena terletak di daerah pegunungan, suhu yang sangat dingin mulai menyapa. Mereka harus mengenakan jaket tebal untuk menjaga suhu tubuh mereka tetap normal.
“Jangan berprasangka buruk seperti itu pada orangtua, Mir.” Tari memperbaiki posisi jaketnya. Mulutnya mulai mengeluarkan uap pengaruh dingin yang begitu terasa.
“Ah iya juga. Mungkin cuma perasaanku saja.” Mira membenarkan.
Kemudian mereka melanjutkan untuk merapikan baju-baju mereka ke lemari yang tersedia.
“Langit? Kau datang?”
Mendengar suara Azril menyebut nama Langit, Tari otomatis menghentikan pekerjaannya. Ia mempertajam pendengarannya. Menyelipkan anak-anak rambut ke telinganya agar pendengarannya tidak terhalang apapun.
“Kan ... kan. Mulai deh,” ejek Mira tapi Tari tidak peduli.
“Keluar kamar yuk, Mir. Melipatnya nanti saja,” ajak Tari dengan nada memaksa. Mira menurut saja.
Tari bangkit. Memperbaiki letak jaketnya kemudian bercermin untuk memeriksa kotoran di hidung dan matanya. Karena kalau sampai kotoran itu menempel di sana, maka rusaklah harga dirinya.
Tari melangkah keluar kamar dan berusaha agar langkahnya terlihat normal, berpura-pura mencari sesuatu di kopernya yang masih berada di depan kamarnya. Namun seperti ada yang mengacak-acak hatinya ketika mendapati ada Anggia juga di sana.
“Hai, Tari,” sapa Anggia ramah sambil melambaikan tangannya.
“Oh hai.”
Mira menatap Tari dengan tatapan tanya. Sorot matanya seakan bertanya tentang siapa gadis cantik yang datang bersama Langit. Tapi Tari tidak bisa menjawab pertanyaan Mira sekarang.
“Nginap di sini saja, Lang. Pasukan cowok kekurangan personil. Kita ngopi-ngopi. Kami bawa persediaan kopi yang cukup buat dipakai sebulan,” ajak Azril.
“Tidak bisa. Hari ini shift malam. Ini sudah mau ke sana, sekalian mampir.”
“Duduk dululah, pasti capek kalau berdiri terus.” Mira mempersilakan Anggia dan Langit untuk duduk di sofa merah yang ada di ruang tamu. Sedangkan Tari masih berdiri dengan perasaan kesalnya.
Azril duduk di sebelah Fadil. Sedangkan Tari dan Mira duduk di kursi plastik yang diambilnya dari dapur. Dan Anggia duduk dengan santainya di sebelah Langit yang membuat kekesalan Tari makin menjadi.
“Gia besok shift juga? Rencananya besok kita mau ke hutan pinus sama ke kebun teh. Kalau ramai-ramai pasti seru. Sorenya sudah mau pulang karena besoknya sudah harus masuk lagi,” ajak Azriel.
“Besok ada shift sebenarnya. Tapi karena sekarang sudah di stase puskesmas jadi agak longgar. Dokter di sana juga baik-baik. Semoga besok bisa pulang cepat biar bisa ikut dengan kalian,” jawab Anggia dengan semangat yang menggebu. Fadil yang sejak tadi diam saja tampaknya tertarik pada Anggia yang memang luar biasa cantik itu. Tatapannya tak pernah lepas dari Anggia.
Oh. Demi kotoran hidung dan seluruh pengikutnya. Semoga besok dia tak ikut saja. Tari membatin. Tangannya masih menyilang dengan angkuhnya, tapi Anggia terlalu baik hati untuk menyadari bahwa kehadirannya tidak diinginkan Tari.
“Kalau begitu kami pamit dulu.” Langit bangkit dengan Anggia yang mengekor di belakangnya.
“Loh, kalau Langit mau ke rumah sakit. Anggia pulangnya bagaimana?” tanya Azril saat Anggia hendak menuruni tangga.
“Diantar Langit. Ya kan, Lang?”
Maka makin besarlah rasa cemburu mengoyak-ngoyak hati Tari yang turut mendengarnya. Membuatnya ingin mengeluarkan sumpah serapah saat itu juga tapi tak bisa.
*******
“Mir, aku kalah telak sepertinya.”
Tari, Mira dan Ana sedari tadi merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ana yang berada di paling pinggir bahkan sudah tertidur lelap sejak tadi, sepertinya kelelahan setelah dari air terjun tadi.
“Kau ini bicara apa sih?” tanya Mira tak mengerti.
Suhu udara kini menunjukkan 15 derajat celcius. Mira menarik selimut tebalnya hingga menutupi sebagian wajahnya. Dingin yang sampai merasuk ke tulang belulang.
“Tentang Anggia. Sepertinya dia naksir Langit. Dan kau lihat sendiri kan bagaimana sempurnanya dia? Apalagi dia juga seorang dokter.”
“Lalu kau berniat menyerah?”