“Lagi apa, Lang?”
Tari berguling di tempat tidurnya. Memutarinya tiga ratus enam puluh derajat. Terlalu senang karena bisa berbincang dengan Langit melalui telepon. Sudah beberapa hari terakhir semenjak mereka kembali dari Malino, berbincang dengan Langit menjadi suatu rutinitas baru di kala senggang.
Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 10 malam. Setelah liburannya beberapa hari yang lalu, hari ini Tari shift siang sehingga malamnya ia bebas berbincang—lebih tepatnya menggangu Langit.
“Lagi shift malam. Sekarang lagi mengisi borang,” jawab Langit di seberang telepon.
“Loh? Kok? Bukannya hari ini harusnya shift siang, ya? Jadwal kita kan sama. Aku sudah melakukan penelitian sejak lama.”
Langit terdengar tertawa pelan. “Tadi shift siang terus lanjut shift malam sebagai ganti shift yang kutinggal dulukarena mencarimu. Besok lanjut lagi shift pagi.”
“Ya Tuhan. Kasihan sekali kau, Lang. Pasti sudah terlihat seperti zombi esok hari. Shiftmu sepanjang itu.” Tari bangkit. Duduk di sudut tempat tidurnya dengan wajah cemas.
“Itu karena kau. Aku harus mengganti dua kali shift temanku.”
“Maaf, Lang. Beberapa kali aku bertemu denganmu. Beberapa kali juga aku membuatmu kesulitan. Pertama saat kejadian percobaan bunuh diri itu. Dan sekarang kau terluka lagi karenaku.”
“Kenapa bicara seperti itu?” Langit terdengar tidak setuju dengan pernyataan Tari. “Oh iya, apa tidak ada lagi percobaan bunuh diri di sana?”
“Tidak ada. Mereka menunggumu. Kalau kau muncul di rumah sakitku lagi, barulah mereka menyusun rencana. Mau diselamatkan dokter tampan katanya,” canda Tari yang disambut tawa Langit di seberang.
“Berarti aku tidak perlu muncul ke sana lagi, ya? Karena kalau ada lima orang saja yang bertindak sama, bagaimana aku menyelamatkan kelimanya?”
Receh sekali topik pembicaraan mereka. Tapi bukankah kata pepatah bahwa bahagia itu sederhana. Dan sesederhana inilah konsep bahagia bagi Langit dan Tari, berbicara asal tanpa ada topik yang jelas. Setidaknya bisa saling mendengar suara masing-masing setelah sekian lama tak saling bertegur sapa.
“Lang, besok aku shift malam. Paginya aku ke tempatmu, ya. Minggu ini kau bilang tidak pulang, kan?”
“Untuk apa kau ke sini?”
“Melihatmu. Aku ingin melihat wajah zombimu.”
Lagi-lagi Langit tertawa pelan di seberang telepon. “Aku tidak melarangmu. Tapi tidak juga menganjurkanmu kemari. Perjalanan ke sini cukup jauh dan malamnya kau harus bekerja.”
“Bahkan jika kau melarangku, aku akan tetap datang.”
“Keras kepala sekali.”
“Dan kau merindukan si keras kepala ini, bukan?” tanya Tari blak-blakan tanpa memikirkan bagaimana serba salahnya Langit merespon pertanyaan itu. Jika bilang iya, rasanya terlalu gengsi untuk mengakui. Tapi jika bilang tidak, berarti membohongi kata hati.
Kemudian mereka sama-sama terdiam. Sepi.
*****
Keesokan harinya Tari benar-benar nekat pergi sendirian ke tempat Langit bertugas. Pagi-pagi buta ia sudah sibuk menyiapkan segalanya. Untung saja papanya memberi izin pada Tari untuk menggunakan mobilnya. Tidak terbayangkan bagaimana lelahnya jika harus menaiki scoopy merahnya untuk perjalanan yang cukup memakan waktu.
Dengan berbekal google map dan kenekatannya, Tari benar-benar sampai di rumah sakit yang Langit sebutkan semalam. Rumah sakit itu tidak terlalu besar, mungkin hanya sepertiga dari rumah sakit tempatnya bekerja. Sama seperti rumah sakit pada umumnya, rumah sakit tersebut didominasi warna putih.