“Pssttt ... psstt. Kak Tari.”
Tari baru saja memarkirkan motornya saat Dhisti yang sedang menyiram bunga di halaman rumahnya memanggil-manggil namanya berkali-kali. Ia membuka helm yang masih menempel di kepalanya lalu menoleh ke arah gadis berusia delapan belas tahun itu.
“Kak Tari,” panggil Dhisti lagi. Dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. Menengok kanan kiri seperti ada yang sedang mengawasi.
“Sini.” Dhisti melambaikan tangannya mengajak Tari mendekat. Tari mengerutkan keningnya penasaran. Kemudian melangkah mendekati Dhisti yang kini menaruh selangnya asal.
“Kakak dari mana? Baru pulang dinas?” tanya Dhisti saat Tari sampai di depan pagarnya.
“Dari toko buku. Kakak shift pagi tadi. Pulangnya sudah dari beberapa jam yang lalu. Kenapa?”
“Ada Kak Langit,” bisiknya pelan. Secara spontan Tari melirik ke arah garasi. Memang benar ada brio hitam milik Langit terparkir di sana. “Orangnya lagi sakit.”
“Sakit?” Tanpa sadar volum suara Tari meningkat. Terkejut dengan info dari Dhisti barusan. “Sakit apa?”
Tari mengedikkan bahu. “Enggak tahu. Oh iya, mamanya Kakak ada di rumah tidak?”
Pertanyaan Dhisti dibalas dengan gelengan kepala oleh Tari.
“Bagus kalau gitu.” Dhisti menjentikkan jarinya dengan wajah bahagia kemudia melingkarkan tangannya ke lengan Tari. “Sekarang kita jenguk Kak Langit.”
Tanpa meminta persetujuan dari Tari, Dhisti menariknya memasuki rumah lalu menuju kamar Langit yang berada di lantai dua. Tari menurut-menurut saja.
Pintu diketuk.
“Kak, boleh masuk tidak?” teriak Dhisti di depan pintu dengan volum suara yang bisa terdengar oleh seluruh penghuni kompleks.
“Hm.” Suara Langit terdengar dari dalam kamar.
Pintu terbuka dan di sana tampak Langit sedang bersandar di salah satu sisi tempat tidurnya. Ia sedang menonton televisi. Sebagian badannya tertutup oleh selimut.
“Kak. Ada tamu,” ucap Dhisti kemudian membalik badan setelah sebelumnya tersenyum jail ke arah kakaknya yang tampak terkejut. Dhisti tersenyum penuh arti lalu membentuk tanda OK dengan jempol dan telunjuknya.
“Tari?” Langit terkejut dan spontan bangkit dari tidurnya.
Tari jadi salah tingkah sendiri. Digaruknya kepalanya yang tidak gatal berkali-kali. Berdiri cukup lama di depan pintu dengan wajah bingung. Tari mengitarkan pandanannya ke seluruh sisi. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia memasuki kamar ini. Tidak banyak yang berubah, hampir sama seperti sepuluh tahun yang lalu.
Kamar Langit bernuansa industrialis. Menunjukkan bentuk struktual dan minimalis. Di salah satu sisi kamar terdapat komponen kayu unfinished dan di sisi lainnya dinding ekspos batu bata yang disusun diagonal menjadi keunikan tersendiri. Sebuah single bed dengan dengan ornamen papan catur sejajar dengan cabinet built-in berwarna abu-abu. Sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke jalan membuat sirkulasi udara lancar dan sinar matahari bisa bebas menyinari. Simpel tapi memberi kesan maskulin.
“Dhisti yang memaksaku kemari,” ucap Tari pada akhirnya.
“Masuklah.”
Setelahnya, suasana canggung tadi tidak terasa lagi.
“Kau sakit apa?” tanya Tari ketika ia duduk berhadapan dengan Langit di tempat tidur.
“Hanya flu. Sebentar lagi juga baikan sendiri kok.”
“Kau pasti kelelahan. Bagaimana mungkin tidak lelah setelah shift panjangmu beberapa hari lalu?” Tari menatap Langit dengan wajah iba. Ia tahu betul betapa melelahkannya pekerjaan seorang dokter. “Sudah periksa ke dokter?”
Sebuah senyum tipis tercetak di wajah Langit. “Dokter ke dokter? Kok rasanya sedikit gengsi, ya.”
“Memangnya apa salahnya? Kau pikir dokter bedah akan membedah dirinya sendiri saat ia sakit? Kau pikir tukang gali kubur akan menggali kuburnya sendiri saat meninggal?”