“Anak yang pintar.”
Langit baru saja menelan paracetamol dan meneguk segelas air putih ketika Tari tiba-tiba muncul di sebelahnya dan menepuk pundaknya. Tidak terima dengan perlakuan Tari, Langit menepis tangan Tari dari pundaknya. Tari membalasnya dengan tawa puas.
Kemudian Tari mengendap-endap lagi di balik jendela, mengamati rumahnya bagai pengintai profesional.
“Duh! Mama masih ada,” ucapnya sambil menghembuskan napas dengan wajah kecewa.
“Mamamu belum pergi?”
Tari mengangguk. Tatapnya masih tertuju ke rumahnya. “Iya. Mobil mama masih ada.”
Tari menepuk jidatnya tiba-tiba. Langit yang berada tidak jauh ikut terkejut melihatnya. “Aduh! Aku lupa kalau ada janji dengan Azril sebentar lagi. Ada yang mau dibicarakan katanya. Bagaimana ini?”
Wajah Langit berubah serius. Mendengar nama Azril dari bibir Tari membuat Langit menjadi terganggu. Hatinya menjadi sedikit kacau. Bukan ia membenci Azril, tentu saja tidak. Tetapi rasa cemburu menyelimuti hatinya melihat kedekatan Tari dan Azril.
“Bicara apa?”
Tari buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yanga tadi disimpannya di dekat kabinet. “Ya tidak tahu Azril mau bicara apa. Ketemu saja belum.”
Langit menggigit bibirnya, hendak menahan diri untuk bertanya lebih lanjut tapi tak bisa. “Bertemu dimana?”
“Di Cafedia.” Tari selesai memperbaiki rambutnya yang tergerai. “Pintu belakang rumahmu terbuka, ‘kan? Aku pergi dulu, ya.”
Tari melambaikan tangan. Setengah berlari menuruni tangga dengan buru-buru. Langit memandangi punggung Tari hingga tak terlihat lagi. Dipeganginya dadanya. Terasa sekali hampa perlahan menggerogotinya. Sunyi seketika. Hari ini ia merasa benar-benar takut kehilangan gadis itu.
******
Tari mengambil langkah-langkah panjang setelah turun dari taksi online yang tadi dipesannya. Diperbaikinya posisi roknya yang sempat miring. Tak lupa ia rapikan anak-anak rambut kemudian ia selipkan ke telinganya. Setelah yakin penampilannya sempurna, ia melangkah memasuki pintu kaca.
“Ril, maaf terlambat,” ucapnya. “Ada halangan tadi.”
Azril duduk di salah satu meja yang persis menghadap ke pintu masuk. Azril tampak lebih rapi dibanding hari-hari biasanya. Kemejanya yang berwarna biru tua ia gulung hingga sebagian lengannya terlihat. Rambutnya yang biasa ia biarkan berantakan diberi pomade hingga ia nampak berbeda. Bukan Azril yang biasanya.
“Tak apa. Aku juga baru lima menit di sini,” dustanya.
“Syukurlah.” Tari tersenyum. Manis sekali hingga menampakkan lesung pipinya. “Mau bicara apa? Kenapa tidak dibicarakan di whatsapp saja?”
Azril memainkan jarinya dan sesekali memperbaiki kacamatanya. Terlihat sekali kalau ia sedang gelisah. “Yang mau dibicarakan masalah penting, Tar.”
Tari memiringkan kepalanya. “Masalah apa?”
Azril menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Menarik napas lagi lalu menghembuskannya kembali hingga dua kali. “Masalah perasaan, Tar.”
DEG.
Giliran Tari yang merasa salah tingkah. Ingatannya melayang pada kalimat-kalimat Mira yang seringkali mengatakan kalau Azril menyukainya. Dan hari ini Azril mengaku akan berbicara tentang perasaannya. Sedangkan perihal perasaan bukan hal yang mudah untuk dibicarakan sembarangan.
Tari cepat-cepat meneguk segelas air yang ada di depannya. Ia bisa merasakan pipinya mulai memanas. Kini ia tak ubahnya seperti Azril, sama-sama gelisah.
“Tar, sebenarnya dari awal ketemu, aku tuh ... Gimana ya ngomongnya?”
Mendengar Azril yang mulai bicara. Keringat dingin mulai membasahi jemari Tari. Diremasnya jari-jarinya itu kuat-kuat sembari berpikir kalimat apa yang akan diucapkannya pada pemuda baik hati di depannya. Ini memang bukan kali pertama Tari menerima pernyataan cinta, namun kali ini berbeda. Azril tak memiliki celah, ia baik hati, ramah, bertanggung jawab dan hampir segala kebaikan ada padanya. Tari ingin menolak, tapi tak ingin menyakiti hatinya.
Tari berpikir sangat keras untuk jawaban yang akan diberikannya. Menimbang kata demi kata agar penolakannya bisa diterima Azril baik-baik dan tidak membuat pertemanan mereka goyah.