Seminggu berlalu lagi. Dan dalam seminggu itu, Langit benar-benar kehilangan komunikasi dengan Tari. Jangankan bertemu dengannya, mengangkat telepon darinya saja Tari enggan. Ada ratusan sampai ribuan panggilan telepon yang ia lakukan dalam rentan waktu seminggu ini, tapi semuanya tak berbalas. Ada puluhan sampai ratusan pesan yang ia kirimkan, namun semuanya tak dibaca.
Hari ini Langit memutuskan kembali ke kota walau sebenarnya hari ini bukan hari liburnya, malamnya ia ada shift. Seminggu sudah ia tak menemui Tari, bukannya tak peduli tapi ia tahu Tari butuh waktu untuk menyendiri. Dan seminggu adalah waktu yang sudah lebih dari cukup untuk larut dalan kegalauan itu. Mereka harus bicara dan memperjelas semuanya.
Langit menghentikan brio hitamnya di depan rumah Tari. Cukup lama ia diam memandangi rumah berlantai tiga itu. Diteleponnya Tari sekali lagi tapi tetap tak ada jawaban. Langit kemudian melangkah mantap. Ia datang ke rumah ini dengan seribu pertimbangan, bukan asal-asalan. Langit merasa ada yang salah dari semua ini dan ia harus meluruskannya.
Langit memencet bel rumah Tari. Sekali. Dan tak ada jawaban dari dalam. Langit kemudian mengulangi lagi. Saat itulah pintu terbuka, tapi bukan Tari yang membukanya melainkan mamanya.
Langit tak gentar. Sejak awal memutuskan kemari ia sudah memikirkan segala kemungkinan, termasuk bertemu dengan mama Tari. Langit mengembangkan senyum lalu memberi salam. Diluar dugaan, mama Tari menjawab salam tersebut dan tersenyum sebentar kemudian balas menatap Langit, lalu melirik tangan kanan Langit yang masih diperban. Sambutan yang lumayan ramah jika mengingat bagaimana selama ini perlakuan mama Tari padanya.
“Tante, apa boleh kita bicara?” ujar Langit dengan berani.
Mama Tari mengangguk pertanda ia mempersilakan Langit untuk masuk.