White Lies

Khairani Ali
Chapter #17

Chapter 17 - Other Half

Langit di atas sana mulai berubah menjadi jingga. Burung-burung kecil beterbangan dalam kelompok sambil sesekali bercuit, hendak pulang ke sarangnya. Mentari di ufuk barat sebentar lagi akan terbenam. Menyelesaikan tugasnya hari ini dan kemudian akan digantikan oleh sang bulan.

Sudah sejak beberapa jam lalu Tari terduduk di depan sebuah pusara. Nama Indira Amanda terukir di sana. Tari menatap nanar ke pusara kakaknya ditemani angin malam yang berhembus perlahan. Sudah cukup lama ia tidak mengunjungi kakaknya, dan itu membuatnya merasa bersalah. Hari ini ia datang dengan bekas air mata di wajahnya. Menceritakan semua masalah dan betapa lelahnya ia.

“Kak, Tari harus bagaimana? Tari juga mencintinya. Kita mencintai orang yang sama.”

Sekali lagi Tari memeluk nisan kakaknya. Langit sudah sempurna menghitam. Pertanda malam sudah benar-benar datang. Kompleks pemakaman ini tanpa penerangan dan Tari hanya sendirian. Tapi Tari tak takut. Rentetan takdir yang selama ini menyapanya jauh lebih menyeramkan dibanding suasana di pemakaman.

Sekali lagi angin malam berhembus kencang. Tari masih di sana. Terdiam lama.

“Kak, bukannya kau yang bilang kalau kita tak bisa memilih pada siapa akan jatuh cinta? Aku juga begitu,” ucapnya disela-sela isak tangisnya. “Apa boleh aku tetap bersama Langit, Kak? Apa kau merestuinya? Jika iya, tolong berikan tanda agar aku bisa menentukan jalanku selanjutnya.”

Tepat di saat Tari mengucapkan kata terakhirnya, Langit yang tadinya cerah berawan mendadak mendung. Bunyi guntur tiba-tiba bersahutan.

Hujan.

Sesuatu yang sangat disukai Indira semasa hidupnya. Apakah ini sebuah jawaban?

Tari menengadah dengan takjub. Lalu kembali memeluk nisan kakaknya sembari berterima kasih dengan sungguh-sungguh dari dasar hatinya.

“Aku akan menemui Langit sekarang, Kak.”

Tari bangkit. Melangkah dengan mantap menuju mobilnya yang diparkirnya tak terlalu jauh. Ia sudah rindu. Teramat rindu. Rindu yang begitu menggebu-gebu.

“Langit, kita akan bertemu.”

*****

Langit menengadah. Ia mengamati titik-titik air yang berjatuhan di depan ruang IGD. Ia membiarkan telapak tangannya basah. Hujan pertama setelah sekian lama kemarau melanda. Tapi hatinya sedang dalam keadaan yang tak baik. Semejak sampai di rumah sakit setelah menemui mama Tari, perasaannya menjadi tak enak. Bayang-bayang Tari muncul di dalam pikirannya berkali-kali hingga membuatnya tidak fokus dalam bekerja.

Ia memang sering memikirkan Tari. Tapi entah mengapa hari ini rasanya berbeda. Memikirkan Tari tak membuatnya bahagia seperti biasa. Apakah ini firasat seperti sebelumnya?

Langit buru-buru menggelengkan kepalanya, menepis semua kemungkinan buruk dalam kepalanya. “Tari pasti baik-baik saja,” ujarnya.

Malam itu, suasana di IGD tidak begitu ramai. Hanya ada delapan pasien dan beberapa dokter jaga termasuk Langit.

Langit kembali pada aktivitasnya. Seorang pasien dengan luka robek di pelipis sedang menunggunya. Langit menghampiri bapak berusia lima puluhan itu dengan ramah. Disingkirkannya semua pikirannya tentang Tari. Ia harus profesional.

Langit telaten membersihkan luka dengan irigasi untuk membuang kotoran yang ada di permukaannya. Luka dicuci dengan air dan NaCl secara bergantian kemudian menyemprotkan cairan NaCl ke dalam luka hingga cairan irigasi tampak bening dan bersih.

Dengan bantuan seorang suster, Langit menjahit luka tersebut dengan menggunakan catgut. Diakhirinya dengan menggunakan surgeon knot atau simpul bedah. Selanjutnya giliran perawat yang melanjutkan tugasnya.

Tak beberapa lama setelah Langit berdiri hendak melakukan pemeriksaan pada pasien lainnya, suara ambulans terdengar nyaring. Paramedis berlarian menuju ambulas. Terjadi kecelakaan dan jatuh beberapa korban.

Lihat selengkapnya