Aston berdiri diambang pintu sebuah rumah; sebetulnya lebih mirip gubuk.
Dia memperhatikan isi rumah tersebut dengan seksama. Hanya ada satu meja makan dan dua kursi rotan di tengah ruangan, sebuah tungku yang sudah dipakai selama bertahun-tahun di sudut ruangan, dan juga satu kamar yang hanya ditutupi gorden rapuh sebagai pengganti pintu.
“Mencari penginapan pada jam ini hanya membuang waktu. Jadi anda, saya izinkan bermalam di tempat tinggal saya.”Alora memberikan sepasang pakaian kepada Aston yang masih berdiri diambang pintu.
Mereka sudah sampai 30 menit yang lalu, tapi pria itu sepertinya enggan untuk melangkah masuk.
“Gunakan kamar saya untuk mengganti pakaian anda ... jika tidak ingin berganti pun tak masalah, tetapi pembayaran anda tak termasuk dengan biaya kesehatan anda. Jadi, ... anda pasti paham maksud saya.” Alora meninggalkan pria dengan pakaian basah kuyup itu.
Tempat tinggal Alora ini berada jauh dari jalanan, harus melewati dua gang kecil dan kereta kuda pun tidak bisa masuk ke dalamnya. Sebab itulah pakaian Aston dan Alora basah kuyup, yang mengharuskan mereka berganti. Malam ini Republik Verbena sedang diguyur hujan lebat.
Aston menghela nafas keras dan mulai melangkah masuk ke dalam tempat tinggal Alora.
“Apa kain ini tembus pandang?” tanya Aston menyentuh gorden berwarna putih kekuningan itu.
Alora mengangkat seikat kayu bakar dari halaman belakang rumahnya. Ia melihat Aston melalui pintu belakangnya yang sudah berlubang.
“Saya tidak tertarik dengan tubuh anda, Pangeran Aston yang terhormat,” ketus Alora. Wanita itu kembali meneruskan kegiatannya, memindahkan kayu bakar.
Aston membulatkan kedua bola matanya. “Lady Alora, perkataan anda sangat tidak bermartabat. Tidak mencerminkan seorang wanita terhormat.”
“Perlukah seorang rakyat jelata memikirkan martabat? Sekeras apapun kasta rendah mencoba bersikap layaknya wanita terhormat, kalian akan tetap memandang kami seperti hama.”
Pria itu terdiam mendengar pernyataan Alora. Tatapannya memperhatikan wanita yang sedang merapihkan tumpukan kayu bakar disamping tungku.
“Salahkan takdir kalian yang menjadi rakyat biasa.” Setelah berkata demikian, Aston masuk ke dalam kamar wanita itu.
Alora melirik sinis gorden yang masih bergerak-gerak karena tersibak Aston tadi.“Menyalahkan takdir juga sebuah kesalahan. Bangsawan seperti kalian tak akan pernah mengerti, sampai kalian mengalami sendiri penderitaan kami,” ujar Alora pelan.
Sementara Aston, pria itu terlihat tidak nyaman mengenakan pakaian yang Alora berikan, ukurannya terlalu kecil untuk tubuhnya.
Aston menyapu penglihatannya pada kamar wanita yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu. Lebih dari kata sederhana.
Ranjang yang terbuat dari bambu dengan ukuran yang kecil, juga salah satu kakinya sudah hampir patah. Setumpuk pakaian yang berada di atas meja kecil dan sebuah boneka beruang rajut. Pria itu menyentuh boneka tersebut. Ia tersenyum tipis saat melihat mata boneka itu miring sebelah.
Indra penciumannya tiba-tiba mencium sesuatu yang terbakar dari arah luar. Ia segera meletakkan boneka rajut tersebut dan berjalan cepat keluar kamar.
Di sudut ruangan, tepat dihadapan tungku. Terlihat Alora yang sedang meniup-niup kayu agar menyala. Beberapa kali wanita itu terbatuk-batuk karena asap yang masuk kedalam sistem pernafasannya secara langsung.
Aston duduk dikursi rotan yang ada tengah ruangan itu. Gerakannya perlahan karena takut kursi tersebut tak kuat menahan bobot tubuhnya.
“Bukankah asap itu akan mengganggu kesehatan anda, Lady?” Alora melirik Aston dari sudut matanya.
“Hm, kesehatan saya juga akan terganggu tanpa penghasil asap ini.”
Pria itu mengibas-ngibaskan tangan didepan wajahnya, sebab asap itu benar-benar memenuhi dalam rumah Alora.
“Anda tinggal sendiri?” tanya Aston lagi.
“Apa anda melihat orang lain selain kita di sini?” Alora balik bertanya. Ia mengangkat teko besi yang ada diatas tungku, dan menuangkan teh panas kedalam cangkir yang terbuat dari bambu, lalu menyajikannya ke hadapan Aston.
“Maaf, sata tak mempunyai gelas porselen seperti di dalam Istana anda,” ujar Alora dengan senyum dipaksakan. Ia duduk berseberangan dengan tamunya itu.
Aston memperhatikan cairan yang mengepul dihadapannya.“Teh ini higienis?”
Pertanyaan singkat dari Aston menghentikan Alora yang sedang menyeruput tehnya.
“Sepertinya sekarang kuman dan bakteri menjadi semakin kuat, hingga bisa bertahan didalam air mendidih,” sarkas Alora.
“Y-ya, tidak ada yang tak mungkin.”
Aston meniup teh panas tersebut dan meminumnya perlahan. Pria itu melirik Alora saat merasakan teh buatan wanita itu. 'Tidak buruk,' pikirnya.
“Apa leher anda terasa seperti tercekik?”
“Apa maksud anda?”
Alora menyeruput tehnya dengan tenang. “Saya menuangkan racun tikus kedalam cangkir anda, Pangeran Aston,” kata wanita itu tersenyum singkat.
“Apa?”
Aston mengeluarkan teh yang sudah berada didalam mulutnya. Pria itu membanting kasar cangkir bambu yang masih berisikan setengah teh panas buatan Alora itu. Pria itu berdiri, dan menarik kerah baju Alora.
“Anda ... wanita yang akan pertama kali saya siksa jika kesehatan saya memburuk. Anda akan memohon untuk kematian anda di bawah kaki saya, Lady Alora.” Aston menatap bengis bola mata biru terang milik wanita dicengkeramannya.
Alora menatap dingin manik hitam legam Aston. “Jangankan memohon di bawah kaki anda, berdiri di atas kaki anda pun saya tidak sudi, Pangeran Aston.” Wanita itu melepas kasar cengkraman Aston dari kerah pakaiannya.
“Sudah 5 menit, sepertinya racun tikus itu tidak mempan untuk tikus.”
Alora menghabiskan tehnya dan berjalan ke dalam kamarnya.