Alora mengacak-acak rambutnya sendiri. Wanita itu mengambil kain yang dipakai Aston untuk selimut dan menudungkan pada kepalanya.
BRAK! Pintu yang awalnya memang sudah rapuh itu kini terlepas dari tempatnya.
Di depan pintu sana, terlihat para prajurit kerajaan yang menatap tubuh Alora datar nan dingin. Tanpa meminta permisi pada sang tuan rumah, prajurit-prajurit itu dengan lancang menerobos masuk ke dalam rumah kayu tersebut.
Pemimpin prajurit itu mendekati wanita yang sedang menelungkupkan wajahnya di atas meja. Terdengar deru mafas beraturan dari wanita tersebut.
Salah satu prajurit itu menyentuh bahu Alora dengan ujung senapannya. Merasa tak ada respon dari wanita itu, mereka saling bertatapan dan mendapatkan anggukan dari sang pemimpin. Para prajurit itu dengan segera menggeledah rumah Alora, tanpa terlewat sedikit pun.
Sementara anak buahnya menggeledah, pria dengan status panglima itu menyingkap kain yang menutupi wajah Alora.
Diperhatikannya wajah Alora yang penuh dengan noda hitam; abu dari kayu bakar.
“Menyedihkan,” ucap pria itu tertawa meremehkan.
“Panglima, tidak ada yang mencurigakan di sini. Menurut kesimpulan kami, wanita itu hidup sendiri.” Salah satu prajurit melaporkan.
Panglima itu melirik dua mangkuk kotor yang ada di atas meja. Bibirnya tersenyum miring.
“Gelandangan ini mempunyai porsi makan yang banyak, hm.” Pria itu berucap sambil mengaduk-aduk sendok di dalam mangkuk kosong, hingga menimbulkan bunyi cekitan.
'Sialan sekali pria tua ini,' ucap Alora dalam hati.
Wanita itu mulai mengerjapkan kelopak matanya. Seorang pria yang sedang menunjukkan deretan gigi putihnya menjadi pemandangan pertama yang Alora lihat.
Alora berjengkit terkejut. Ia meringis dengan tangan yang memegang pelipisnya, merasa pusing.
“Selamat pagi, Lady. Bagaimana tidur anda? Bermimpi indah?” tanya panglima dengan senyum dipaksakan.
Alora melirik para pria yang masih berkeliling di setiap sudut rumahnya. Sekitar 10 orang, termasuk pria dihadapannya. Wanita itu menurunkan selimut yang menutupi kepalanya.
“Selamat pagi, Panglima. Mimpi saya indah sebelum akhirnya mendapat keburukan saat membuka mata.” Alora menguap sebentar. “Ada urusan penting apa sampai kelas atas menginjak ke tanah kumuh ini?”
Panglima itu memberi kode dengan lirikan matanya pada salah satu prajurit. Mengerti dengan maksud atasannya, prajurit itu memberikan selembar kertas pada wanita yang terduduk malas itu.
Alora melirik selebaran kertas yang berisi sketsa seorang pria berpakaian mewah. Ia mengangkat kertas tersebut. Salah satu alisnya terangkat, berpura-pura tak tahu pria yang ada disketsa itu.
“Pangeran Aston menghilang dari Istana sejak kemarin. Dan kami menemukan kereta kuda milik kerajaan, juga jejak sepatu pangeran yang menuju kemari.”
Wanita itu mengangkat sebelah alisnya. “Apa anda tidak ada di Verbena tadi malam, panglima?”
“Apa?” panglima itu balik bertanya.
Alora tertawa kecil dan memandangi wajah-wajah datar disekelilingnya.
“Tidak sepintar yang saya kira,” gumam wanita itu.
'Tuk, sebuah ujung pistol menempel dipelipis wanita yang sedang tersenyum remeh itu.
“Watch your mouth, Lady.” Panglima menggeram marah.
Jari telunjuk Alora mendorong ujung pistol yang ditodongkan prajurit padanya dan mengarahkan ujung pistol itu pada pria yang ada dihadapannya.
“Tidak ada cermin di tempat kalian?”
Panglima itu mengeraskan rahangnya dengan wajah yang sudah memerah karena darahnya naik ke ubun-ubun. Pria itu menggebrak meja dengan keras dan berdiri, menatap Alora tajam.
“Wanita tak berpendidikan. Saya menunggu pemenggalan kepala anda,” ucap pria itu penuh penekanan.
Alora mendongakkan wajahnya. “Terima kasih sudah menunggu wanita tak berpendidikan ini, panglima.” Ia berkata dengan menyunggingkan senyum miring.
Para prajurit kerajaan itu keluar dari tempat tinggal Alora dengan wajah yang mengeras. Mereka menginjak kuat-kuat pintu rumah Alora, hingga pintu itu kini terbelah menjadi dua.
Alora menghela nafas panjang. Ia bersandar dikursi dengan mata yang melirik pintunya yang tergeletak mengenaskan.
“Atap saja belum diperbaiki, dan sekarang pintu juga minta diganti,” gerutu wanita itu. Ia mengeluarkan mantel dengan benang emas dari dalam bajunya.