Semburat jingga kini mulai terlukis di atas indahnya langit. Nebula dengan berbagai bentuk berjalan anggun pada tempatnya. Di bawah keindahan itu, terlihat seorang wanita sedang menikmati secangkir teh hangat yang ditampung pada sebuah gelas porselen mewah khas kerajaan. Bibir tipisnya sesekali tertarik ke atas saat temannya membuat lelucon.
“Putri Ellys, Republik Verbena mengadakan pesta dansa kemarin malam. Di sana, anda-lah yang menjadi topik pembicaraan terpanas.” Wanita dengan pita merah di rambutnya itu mulai berkata serius.
Ellys tersenyum tipis. “Biarkan saja. Itu hanya pemanis pembicaraan. Mereka akan melupakannya, jika sudah tak mendapatkan kepuasannya,” sahut Ellys dengan suara lembut.
“Apa anda tidak merasa terganggu dengan rumor yang sedang beredar itu? Nama baik anda dipertaruhkan di sana. Kalangan atas sedang mengolok-olok anda, Putri Ellys.” Teman Ellys sedikit menaikkan nada bicaranya. Emosi wanita itu sepertinya mulai terpancing dengan topik obrolan kali ini.
“Tenanglah, Lady Anne. Memang benar, nama baik saya dipertaruhkan. Namun, selagi mereka tak mengolok-olok tepat di depan wajah saya maka itu tidak perlu terlalu dipikirkan. Rumor hanyalah rumor. Sesuatu seperti itu akan hanyut bersama waktu.”
Anne berdecak pelan melihat Ellys yang masih bersikap anggun disaat dirinya menjadi rumor terpanas di Verbena dan negaranya sendiri, Leighton Kingdom.
“Putri Ellys, anda sangat mencerminkan wanita terhormat. Bagaimana bisa si pangeran sombong itu menyia-nyiakan sebuah berlian seperti anda.”
Anne meminum tehnya perlahan. Matanya melirik para pelayan yang sedang merapihkan taman bunga di luar rumah kaca itu.
“Oh, iya, bolehkah saya menanyakan sesuatu, Putri?” tanya Anne setelah teringat sesuatu.
Ellys mengangguk pelan. “Anda sudah melakukannya sejak tadi, Lady.”
Anne tertawa renyah. “Berbicara tentang calon tunangan anda itu, saya menjadi penasaran. Apakah kalian pernah bertemu sebelumnya?”
Gerakan tangan Ellys yang akan mengambil cemilan terhenti. Setelah beberapa detik berpikir, wanita itu kembali menunjukkan senyuman khasnya.
“Saya dan Pangeran Aston pernah bertemu semasa belajar di Akademi kerajaan. Dulu kami sangat dekat, bahkan Pangeran Aston tak ingin menjauh dari saya. Sampai akhirnya, tibalah hari kelulusan, dan terjadi kesalahpahaman diantara kami hingga meregangkan hubungan kami.”
“Kalian saling mencintai?” tebak Anne spontan.
Ellys menutup mulutnya dengan jemari lentik wanita itu.
“Astaga, Lady. Saya terkejut dengan pertanyaan anda yang satu itu,” kekeh putri dari Leighton itu.
Anne menunjukkan deretan gigi rapihnya.
“Cinta, ya, hm ... saya tak tahu tentang perasaan sebenarnya Pangeran Aston terhadap saya, tapi jika dilihat dari sikapnya, Pangeran Aston sepertinya menaruh perasaan lebih pada saya. Beliau itu ...” Ellys melirik temannya itu sekilas. “Sudahlah, Lady Anne. Itu hanya masa lalu saja. Mungkin Pangeran Aston sudah melupakannya. Tolong jangan katakan percakapan kita pada siapa pun, hm?” pinta Ellys lembut.
Anne tersenyum hangat, tangannya terulur menggenggam jemari wanita di hadapannya.
“Jangan khawatir, Putri Ellys. Saya pandai menjaga rahasia! Lalu, saya juga akan membantu anda untuk bersatu kembali dengan Pangeran Aston,” ucap Anne yakin.
“Terima kasih, Lady Anne. Saya meminta bantuan anda.”
Keduanya saling melemparkan senyuman manis. Perhatian Anne teralihkan pada pria bersurai merah yang sedang berjalan mendekat ke arahnya dan Ellys. Ia mengerutkan keningnya dalam.
“Putri Ellys, apa anda mengundang pria gila itu?”
Ellys ikut menoleh ke arah yang Anne maksud. Wanita itu tertawa kecil.
“Sepertinya anda masih kesal dengan Duke Avio, ya. Iya, saya mengundang Duke Avio untuk meminum teh bersama di sini.”
Ellys dan Anne berdiri dari duduknya saat Avio sampai di dekat mereka.
Avio menarik kedua sudut bibirnya.
“Selamat sore, Putri Ellys, Lady Anne. Bagaimana kabar kalian?” sapa Avio.
Pria itu menundukkan kepalanya pada Ellys dan dibalas dengan anggukan singkat oleh wanita tersebut. Avio mengalihkan tatapannya pada Anne, bibirnya tersenyum jahil.
“Lady Anne, anda semakin cantik dengan surai biru itu, tetapi ....” Avio memegang puncak kepala Anne. “Tetapi, sepertinya anda semakin tumbuh ke bawah, ya?” ejek pria itu.
Anne membulatkan kedua bola matanya. Dengan kasar, ia menepis tangan Avio yang ada di atas kepalanya.
“Lancang! Jaga sikap anda, Duke Avio,” geram Anne tajam.