Suara gaduh terdengar menginterupsi warga yang sedang berlalu melewati sebuah kedai yang ada di pasar tradisional terbesar di Verbena.
Di dalam sana, terlihat pria bertubuh gempal terlibat pertengkaran adu mulut dengan pemilik kedai tersebut. Para pelanggan memilih keluar dari tempat itu saat pertengkaran dua pria tersebut mulai melibatkan kekerasan fisik.
Brak! Tubuh ringkih pak tua pemilik kedai terbanting menabrak kursi dan membuat makanan berkuah panas di atas meja tumpah ke atas tubuhnya.
Pria bertubuh gempal mengangkat pak tua itu dengan kasar.
“Dimana tempat penyimpanan uang anda, hah?!” tanyanya mengguncang tubuh pak tua. Alisnya menukik tajam melihat pria digenggamannya.
Tarikan nafas berat terdengar dari pak tua, sepertinya penyakit asma pria itu kambuh.
“T-tolong tunggu pada minggu depan, Tuan. Untuk sekarang, kedai saya sedang sepi pengunjung. S-saya berjan—”
“Tidak! Sepertinya si tua ini mulai meremehkan saya, ya. Bayar hutang anda sekarang atau saya hancurkan kedai ini,” ancamnya.
Pak tua itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada, bermaksud meminta ampunan dari sang rentenir di hadapannya.
“Saya mohon, Tuan. Beri saya kelonggaran waktu lagi. Kali ini saya akan benar-benar bekerja keras untuk melunasi hutang saya. Tolong jangan ambil satu-satunya sumber penunjang hidup saya, Tuan. Istri saya sedang sakit, ia membutuhkan biaya yang be—”
“Halah! Saya tidak perduli dengan kisah menyedihkan anda. Keputusan sudah bulat. Bayar sekarang, atau anak buah saya akan membakar kedai kotor ini!”
Pria tua itu bergetar ketakutan. Matanya melirik dua anak buah si rentenir yang sedang memegang pemantik dan juga bensin. Rasa takutnya semakin bertambah saat cairan dengan aroma menyengat itu mulai ditumpahkan ke atas lantai.
“S-s-saya mena—”
“Hey, pria bertubuh gempal. Turunkan pak tua itu!”
Perhatian keempat pria itu teralihkan saat suara melengking seorang wanita terdengar. Di depan kedai, tepatnya dibalik kerumunan warga yang sedang menonton, terlihat wanita dengan pakaian lusuh dan tas jerami berjalan santai ke dalam kedai tersebut. Ditangannya terdapat beberapa cemilan yang ia beli di jalan.
Si rentenir yang mendengar panggilan wanita itu mengeraskan rahangnya.
“Anda memanggil saya apa? Tubuh gempal? Lancang sekali!”geram pria itu tajam. Ia melepaskan cengkraman tangannya pada tubuh pak tua. Dengan cepat pak tua itu bersembunyi di belakang meja kasir, memperhatikan wanita yang baru datang itu.
“Lalu saya harus memanggil apa? Tubuh kurus? Yang benar saja,” kekeh wanita itu. Ia duduk di salah satu kursi kedai tersebut.
Mendengar jawaban wanita muda di hadapannya, rentenir itu menggeram marah. Tangannya membalikkan meja dengan kasar.
“Dengar, Lady. Jangan pernah ikut campur urusan saya atau anda akan menyesalinya, Lady Alora si pencuri kecil.”
Alora tertawa kecil. “Disebut apa, ya, seorang pria yang hanya berani mengancam kaum lemah dan tak berdaya? Ah, seorang pria? Sepertinya lebih pantas dikatakan 'seorang wanita yang sedang mengalami pra-menstruasi'.”
Ucapan Alora disambut gelak tawa oleh para pengunjung pasar yang masih menonton dari luar kedai. Bahkan, kedua anak buah pria gempal itu ikut tertawa kecil.
Rentenir itu menatap tajam anak buahnya dan dengan cepat mereka merapatkan mulutnya. Tatapannya kini beralih pada Alora.
“Anda akan habis ditangan saya,” ucap pria itu penuh ancaman.
Alora melirik pak tua yang sedang bersembunyi di balik meja kasir sana. Terlihat pak tua itu meringis dengan tangan memegangi dadanya.
“Berapa jumlah hutang yang ia miliki?” Alora bertanya singkat.
Rentenir itu terdiam lalu tak lama setelahnya, ia tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa bertanya? Anda berniat membayarnya? Anda tak akan mampu!” hardik pria itu.
Alora berdecih keras. “Berapa. Jumlah. Hutang. Yang ia miliki?” Wanita itu pertanyaannya dengan penuh penekanan.
Si rentenir mendudukkan dirinya bersebrangan dengan Alora. Kedua tangannya ditaruh di atas meja.
“Lima puluh juta sen.”
Bola mata Alora membulat sempurna. Gila! Jumlah itu bisa untuk bertahan hidup selama setahun dengan ditemani makanan lezat setiap harinya. Ia kembali melirik pak tua sekilas, dan menghembuskan nafasnya kasar.
Alora merogoh sakunya dan menaruh sekantung koin emas di hadapan pria bertubuh gempal itu.
“Seratus koin emas, hutang pak tua itu tersisa Dua puluh juta lagi. Berikan tenggat waktu yang lama untuknya mengumpulkan uang yang tersisa.” Alora berucap cepat.
Rentenir itu memandang tak percaya dengan isi dalam kantung itu. Ia memeriksa koin tersebut, takut-takut itu palsu tapi ternyata itu memang koin emas asli!
Para pengunjung terlihat berbisik-bisik dengan kejadian yang mereka lihat itu. Tak sedikit pula yang mengira Alora habis marampok seorang bangsawan, ataupun saudagar di jalanan.