Status pencuri kini beralih menjadi pelayan kedai.
Sedari matahari masih tertidur hingga matahari mulai menunjukkan senyumnya, Alora terlihat sibuk menyetrika pakaiannya. Wanita itu meniup-niup arang yang ada di dalam benda besi ditangannya.
Senyuman tipis terlukis diwajahnya saat ia melihat hasil kerja kerasnya sejak pagi-pagi buta.
“Lady Alora, apa anda akan mengikuti sebuah pesta?” Aston bertanya setelah diam memperhatikan wanita di hadapannya.
“Pesta? Tidak. Saya tak mempunyai waktu untuk berpesta.”
“Lalu untuk apa anda membereskan baju sebanyak ini? Juga, darimana anda membeli pakaian-pakaian ini? Kualitasnya sangat buruk dan kotor!”
Alora mendelik kesal mendengar perkataan Aston, lalu membawa tumpukan pakaiannya yang sudah rapih ke dalam kamar.
“Mulai sekarang saya akan bekerja, dan pakaian ini saya dapatkan dari tempat pembuangan kemarin. Saya tak mengerti dengan pemilik pakaian ini, padahal hanya sobek sedikit tapi ia sudah membuangnya,” ucap Alora merasa terheran.
Kening Aston mengerut. “Tempat pembuangan? Maksud anda, pakaian-pakaian itu didapat dari tempat sampah?”
Alora mengangguk.
Aston membulatkan matanya. Pria itu berdiri dan melirik pakaian yang menempel pada tubuhnya.
“Jangan katakan bahwa pakaian yang saya pakai juga hasil anda memulung.” Aston menatap Alora dengan skeptis.
Alora yang sedang mengikat tali sandalnya tertawa kecil.
“Sangat disayangkan, perkiraan anda benar. Saya dan Rayn menemukan tiga pasang dan membaginya, tetapi sepasang yang lain hilang terbawa angin, entah kemana,” jelas Alora. Ia menepuk kedua tangannya ketika kegiatan mengikat tali sandalnya selesai.
“Menjijikan! Lady, anda sangat kurang ajar. Bagaimana bisa anda memberikan pakaian hasil memulung pada seorang pangeran?! Tidak bermoral!” Aston menatap tajam wanita di seberangnya itu.
Alora mengalungkan tas jeraminya, dan berjalan ke hadapan Aston.
“Memangnya anda berekspektasi apa tentang pakaian itu? Apa anda pernah melihat seorang gelandangan yang diizinkan masuk ke dalam sebuah butik mewah? Apa masuk akal, jika rakyat jelata membeli pakaian dengan harga fantastis? Tidak, kan? Yasudah.” Alora menatap Aston dari atas sampai bawah. “Lagi pula, anda terlihat nyaman dengan pakaian itu.
“Saya terlihat nyaman karena terpaksa.”
“Terpaksa, ya. Saya baru melihat seseorang yang terpaksa tapi terlihat sangat nyaman. Saya rasa anda juga sudah pantas menjadi rakyat jelata.”
Aston mengeraskan rahangnya. Dengan gerakan cepat, pria itu memegang leher Alora dan mendorongnya sampai punggung wanita itu menabrak keras pilar bambu yang ada di sana.
“Lady Alora, sepertinya anda semakin kurang ajar, ya. Jangan karena saya bersikap baik pada anda, dengan leluasa anda memperlakukan dan berbicara lancang pada saya. Berkacalah agar anda tahu siapa diri anda. Ingat satu hal, saya seorang pangeran dari Republik Verbena dan anda hanyalah rakyat kelas rendah yang mengalami krisis identitas. Ketahui batasan anda, wanita tak berpendidikan.”
Alora menatap datar pria yang sedang menekan lehernya itu. Entah kenapa, mendengar kalimat 'krisis identitas' membuat hatinya berdenyut nyeri. Jemari wanita itu terangkat memegang pergelangan tangan Aston dan menancapkan kuku panjangnya.
Aston yang merasakan sakit dipergelangannya berniat melepaskan cekikan tangannya pada leher wanita itu tapi bukannya terlepas, Alora semakin menekan tangan Aston agar kembali menekan lehernya.
“Anda bersikap baik pada saya? Kebaikan yang mana, hah?” tanya Alora rendah. Wanita itu memajukan wajahnya agar berada tepat didepan paras menawan Aston.