“White Owl Know Everything,” gumam Jovian membaca tulisan itu. Ia mengerutkan keningnya.
“White Owl? Apa Burung hantu yang saya lihat di malam itu?” benak Jovian bertanya-tanya.
Tatapannya beralih memperhatikan anak yang sudah tak bernyawa itu. Jovian menghembuskan nafas berat.
“Maaf, karena saya, anda menjadi seperti ini. Terima kasih sudah memperdulikan saya. Tenang di atas sana.”
Jovian meletakkan kepala anak itu, dan berjalan meninggalkan tubuh yang terkulai lemas tersebut. Ia berniat mengambil kudanya di luar hutan sana.
Sepanjang perjalanan, benak Pangeran Mahkota itu dipenuhi dengan ucapan-ucapan anak tersebut. Bagai puzzle yang masih berantakan, ia harus menyatukan keping demi keping.
Buk! kesadaran Jovian kembali saat seorang wanita menubruk tubuhnya dengan keras.
Manik biru laut milik wanita itu bertatapan langsung dengan iris biru seterang langit milik Jovian. Keduanya bagai menyelami keindahan warna mata masing-masing selama beberapa menit.
“Anda yang akan mengajari saya cara membuat teh itu, 'kan? Sedang apa di dalam hutan?” tanya Alora terheran. Wanita yang menabrak Jovian tadi adalah Alora.
Jovian menyembunyikan lengannya ke belakang tubuh. Dengan refleks, mata Alora melirik gerakan tersebut.
“Saya sedang mencari udara segar. Bagaimana dengan anda, Lady? Anda tidak bekerja?” Jovian balik bertanya.
“Ah, kedai sedang tutup karena kami kehabisan bahan-bahan. Saat ini Pak Tua pergi ke kerajaan Leighton untuk membeli beberapa jenis teh dan rempah-rempah, dan beliau mengizinkan saya untuk berlibur.”
Jovian mengangguk paham.
“Ngomong-ngomong, kenapa anda berlarian? Sesuatu sedang mengejar anda?”
Alora menoleh ke belakang. Ia terkekeh kecil dan mengangguk. “Monster bagus rupa sedang mengejar saya. Dia—”
Wanita itu menghentikan perkataannya ketika angin berhembus kencang ke arahnya dan Jovian. Saking kencangnya angin itu, kain yang menutupi setengah wajah Jovian kini terlepas dan terbawa angin.
Saat dirasa hembusan angin itu usai, Alora membuka kelopak matanya perlahan. Raut terkejut tergambar jelas pada wajahnya setelah melihat paras pria dibalik kain hitam ini. Alora memundurkan kakinya, ia menjaga jarak dari Jovian.
“Ternyata anda Pangeran Mahkota Jovian. Maaf atas kelancangan saya selama ini.” Alora menundukkan kepalanya.
Jika seseorang bertanya padanya, 'Bangsawan mana yang paling anda segani, Alora?' maka Jovian-lah orangnya. Ia sangat menghormati dan menyegani Jovian sejak pria itu menolongnya di jalanan dulu.
Jovian tersenyum, kakinya bergerak mendekati Alora.
“Anda tidak pernah bersikap lancang pada saya, Lady Alora.”
Alora mendongak. “Anda tahu nama saya?” Ia menunjuk dirinya sendiri. Perasaan senang tiba-tiba saja masuk ke dalam hatinya setelah mengetahui sang idola mengetahui namanya.
“Hm, saya bertanya pada Pak Tua. Pegawai cantiknya membuat saya cukup penasaran.”
'Blush', semburat merah muda muncul di kedua pipi Alora. Ia berdehem pelan untuk menyembunyikan perasaan salah tingkahnya.
“Mengapa tidak bertanya langsung pada saya?” tanya Alora lagi.
Jovian tertawa pelan. Suara tawa singkatnya itu mampu membuat jantung Alora berdetak cepat. Tanpa sadar Alora pun ikut tertawa kecil.
“Raut datar anda mengubur keberanian saya, Lady Alora.”
“Benarkah?”
Jovian mengangguk.
“Sepertinya, lain kali saya akan sering tersenyum sampai orang-orang berpikir saya sudah gila,” gurau Alora.