Rakyat perbatasan Verbena dan Douglas dihebohkan dengan pengumuman ekskusi seorang pembunuh berantai pada sore itu. Lebih dari setengah tahun warga perbatasan hidup dengan kekhawatiran dan rasa gelisah, akhirnya itu akan segera usai.
Jovian Osprey Brodwieck, nama yang sekarang sedang dipuji-puji oleh semua rakyat Republik Verbena. Keberhasilannya menemukan si pembunuh berantai yang sangat licin, menambah kekaguman dan semakin mengharumkan nama sang Pangeran Mahkota tersebut.
“Vonis dari pengadilan. Bahwasanya pada malam ini, sang pembunuh berantai: Drakesbewy Row, akan terikat di kayu salib dengan api panas yang mengelilinginya!”
Sorakan ramai terdengar tat kala sang ahli keadilan membacakan vonisnya. Para keluarga korban yang masih merasa sakit hati atas perbuatan Drakesbewy berteriak dan memaki pria yang sedang dirantai itu.
“Dalam keadaan hidup, akan dicambuk sebanyak dua puluh kali dengan tongkat besi! Menghancurkan sendi lengannya! Bahu! Pinggang! Kakinya! Dan akan dihujani sepuluh anak panah, sampai mati. Segala bentuk belas kasihan dilarang dengan keras oleh hukum tertulis Republik Verbena!” seru pria bertopi coklat dari atas balkon menara yang terletak di tengah-tengah pasar.
“Ra, tidakkah ekskusi itu terlalu kejam?” Rayn berucap pelan.
“Tidak sekejam perbuatannya selama ini. Beruntungnya kasus itu ditangani Pangeran Mahkota bukan Pangeran Aston. Hukuman tidak manusiawi pasti Pangeran Aston jatuhkan padanya,” timpal Alora kesal. Matanya menatap tajam si pelaku yang tertangkap itu. Ia begitu marah saat mengetahui gadis kecil kesukaannya menjadi salah satu korban kejahatan pria itu.
Rayn dan Alora memundurkan langkahnya saat kereta kuda Raja Wilder: pemimpin Verbena, berjalan melewati mereka. Orang nomor satu di Verbena itu akan ikut menyaksikan ekskusi penjahat yang sempat membuat geger istana dan rakyatnya. Jovian pun ada di dalam kereta kuda itu. Senyuman manis ia layangkan ketika netranya bersitatap dengan Alora.
Alora balas tersenyum tipis dan mengangguk singkat.
Rayn yang memperhatikan gerak-gerik Alora mengerutkan keningnya bingung.
“Kau bersikap seperti sudah saling kenal saja dengan Pangeran Mahkota. Ia bahkan tak tahu nama mu, Alora.”
Sang empu yang Rayn maksud membelalakkan matanya. Satu tamparan keras melayang pada lengan Rayn.
“Pangeran Mahkota mengenalku, tahu! Kami sempat berbincang lama kemarin,” ujar Alora sedikit melebih-lebihkan.
“Berbincang lama? Ah, aku tak percaya. Kau dekat dengan Pangeran Aston itu memang kebetulan, tetapi jika dengan Pangeran Mahkota, itu mustahil.”
Alora berdecak keras. “Aku serius, hey! Kemarin kami bertemu di dalam hutan. Katanya, sih, ia sedang mencari udara segar. Aku tak berpikir Pangeran Mahkota sedang mengejar seorang pembunuh. Padahal aku sempat berpapasan dengan pembunuh itu.” Alora memelankan kalimatnya di akhir.
“Benarkah? Memangnya prajurit-prajurit Pangeran Mahkota tak mengusir mu?”
Alora menggeleng. “Saat itu ia sedang sendiri.”
“Hm, begitu rupanya. Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran dengan sesuatu.”
“Apa?” tanya Alora menanti lanjutan kalimat temannya itu.
“Melihat ketenaran dan capaian Pangeran Mahkota Jovian, bukankah itu membuat keberadaan Pangeran Aston seperti terlupakan, ya? Seharusnya, Verbena masih mengkhawatirkan hilangnya Pangeran Aston tapi ini tidak. Mereka terlihat tenang ketika Pangeran hanya ada satu. Apa mungkin Pangeran Aston pergi dari Istana karena raja dan ratu hanya mementingkan Pangeran Mahkota?”
Mendengar asumsi Rayn, benak Alora menjadi ikut berpikir dan bertanya-tanya. Perkataan Rayn ada benarnya juga. Jika hanya hilang beberapa minggu saja Aston sudah terlupakan, bagaimana nanti jika pria itu meninggal? Mungkin namanya pun tak akan ada yang tahu, kecuali jika mereka membuka catatan sejarah.
“Kita tak pernah tahu alasan dibalik situasi ini. Konflik para bangsawan itu lebih rumit dari yang kita kira. Pada ujungnya, semua akan terhubung dengan politik dan kekuasaan. Huftt, hidup mereka bergelimang harta tetapi setiap tarikan nafas mereka selalu diiringi oleh ketakutan, dan keresahan akan hilangnya posisi yang sedang di duduki.”
“Hm, faktanya tidak ada yang sempurna di dunia ini,” ucap Rayn menimpali. Alora mengangguk, membenarkan.
Di tengah pujian dan sorakan orang banyak, Alora mengalihkan tatapannya pada pria yang berdiri di balik tembok sana. Wajah datarnya setengah tertutup oleh jubah hitam besar dengan tudung yang menjuntai ke depan. Sorotan matanya semakin menajam saat Raja Wilder dan Pangeran Mahkota Jovian tersenyum lebar, dengan tangan yang melambai kepada rakyat.