Alora melangkah lunglai menuju pintu kayu rumahnya. Tatapannya bertemu dengan Aston yang sedang menunggunya (?) Entahlah. Sore itu ia benar-benar merasa lelah karena kejadian yang menimpanya di kedai tempatnya bekerja.
“Saya pulang,” gumam Alora lemas. Tangannya menepuk pelan bahu Aston dan berjalan ke dalam.
Melihat kejanggalan dalam diri Alora, kening Aston mengerut kecil. Pria itu berbalik dan mendekati Alora yang sedang menuangkan air.
“Ada hal buruk yang terjadi?” Aston bertanya. Ia mendudukkan dirinya agar berhadapan dengan Alora.
“Hm,” dehem Alora sambil menandaskan air minumnya. “Dua hari lagi Republik Douglas berulang tahun, dan acaranya dibuka untuk umum. Banyak pendatang dari luar kerajaan berbondong-bondong ingin menghadiri acara tersebut.”
“Saya hampir lupa dengan itu. Lalu apa masalahnya? Bukankah itu bagus? Kedai anda akan mendapatkan banyak pelanggan, 'kan? Tidak menutup kemungkinan, anda juga akan bertemu jodoh anda. Setidaknya dia bisa membawa anda keluar dari kemiskinan ini.”
Alora berdecih keras, tangannya sudah gatal ingin melemparkan gelas bambu digenggamannya pada wajah Aston.
“Jika dia seorang pria kaya mungkin bisa tapi bagaimana jika tidak? Yang ada ia hanya menambah beban saya.”
Aston terkekeh mendengar ucapan Alora. Ia beranjak dan mengambil dua mangkuk berisi sup lalu menyajikannya di hadapan wanita yang sedang kelelahan itu.
Alora menaikkan sebelah alisnya. “Anda memasak?”
“Hm,” dehem Aston singkat.
Alora melirik tungkunya yang tidak ada bekas bara sama sekali.
“Berbohong pun ada tekniknya, Pangeran Aston.” Ia tertawa remeh dan mulai mencicipi sup tersebut. Alora terdiam, matanya memperhatikan sayuran yang terpotong tak rapih di dalam mangkuknya.
'Tampilannya meragukan tapi rasanya boleh juga.' Alora berkata dalam hati.
Aston mendengus pelan. “Saya tidak tahu cara menyalakan tungku kotor anda itu. Jadi saya pergi ke rumah Sir Rostlet untuk meminjam kompornya. Awalnya saya ingin membawa benda itu kemari tapi saya baru ingat, di rumah anda tidak memiliki banyak minyak tanah untuk menyalakannya. Tempat tinggal yang sangat menyedihkan.”
Mendengar itu Alora mendelik kesal. “Anda selalu mencemooh tempat tinggal saya tapi masih tidur di dalamnya. Tidak beradab sekali.”
Aston tertawa kecil. Pria itu mencebikkan bibirnya, bermaksud mengejek wanita di hadapannya.
“Lanjut ke pembicaraan. Jadi, apa yang membuat semangat anda menyusut, Lady Alora?” tanya Aston kembali menghidupkan percakapan.
Alora menghembuskan nafas berat, maniknya menatap pria yang meniup sup buatannya itu.
“Kami mendapat pelanggan kerajaan tadi, termasuk keluarga anda.”
Aston mendongak. “Keluarga saya? Pangeran mahkota? Bukankah anda sudah berinteraksi dekat dengannya?” ketus Aston. Entah kenapa pria itu merasa kesal saat mengingat momen Alora bertemu dengan kakaknya.
Alora menggeleng. “Kali ini Pangeran mahkota Jovian tidak berkunjung, beliau berkata akan pergi ke Douglas lebih awal karena ada urusan dengan pangeran Douglas.”
Aston menaikkan sebelah alisnya, menunggu kalimat terusan dari Alora.
“Raja Wilder dan Ratu Lista-lah yang berkunjung, juga putri dari kerajaan Leighton. Mereka datang bersama. Para warga berasumsi bahwa wanita itu adalah calon menantu keluarga Brodwieck. Hm, sejujurnya itu tidak diragukan lagi, putri dari kerajaan Leighton itu sangat cantik, anggun, berwibawa, juga berpendidikan—pantas untuk bersanding dengan anda, Pangeran Aston.” Alora menaik turunkan alisnya, berniat menggoda pria berwajah datar itu.
Aston memutar bola matanya jengah. “Jangan bicarakan wanita itu. Lanjutkan cerita anda.”