Aston menghentikan langkahnya. Pria itu sedang menimbang-nimbang ke arah manakah ia berjalan.
Aston menoleh ke kanan, di sana terlihat beberapa bangsawan yang sedang bercengkrama santai dengan rekannya, arah itu akan mengantarnya kembali ke Aula Istana Douglas. Pangeran Verbena itu menghela nafas kasar dan melangkah ke lorong sebelah kiri, menaiki berpuluh-puluh anak tangga menuju gudang penyimpanan dan tempat para pelayan beristirahat.
Setelah menapakkan kakinya di anak tangga terakhir, atensinya tertuju pada pria berjubah coklat yang keluar dari salah satu kamar pelayan dengan tergesa-gesa. Aston menyipitkan matanya, mencoba mengenali punggung pria tersebut. Bibirnya berdecak kesal ketika tembok menghalangi pandangannya.
Aston memperhatikan pintu kamar itu yang sedikit terbuka, memperlihatkan bayangan cahaya dari lilin yang bergoyang tertiup angin. Karena rasa penasaran yang membuncah, Aston memilih mendekati kamar tersebut. Sesuatu seperti menariknya untuk melakukan hal itu.
Pria itu mendorong pelan pintu kayu bercat putih di hadapannya, kedua alisnya bertaut saat menemukan seorang wanita yang terbaring tenang di atas ranjang kecil di sana. Aston menolehkan kepalanya di sepanjang lorong kamar para pelayan, dirasa keadaan aman, ia masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintunya perlahan.
Aston tersenyum tipis tat kala matanya menatap wajah tenang wanita tersebut.
“Paras anda berkali-kali lipat bertambah cantik saat sedang tertidur. Seharusnya semua gelandangan seperti anda, walau tidak berharta setidaknya mereka good looking.” Aston bergumam kecil. Pria itu duduk di sisi ranjang, menatap lekat Alora dari dekat.
Aston mengulurkan tangannya, berniat mengusap sisi wajah wanita itu, tetapi ia menggantungkan tangannya di udara ketika menyadari perbuatannya. Aston berdehem pelan dan memilih memperhatikan Alora dalam diam.
Detik demi detik berganti menit, hanya dentingan jarum jam yang terdengar menemani dua insan dengan kondisi berbeda itu. Pria berdarah bangsawan Verbena tersebut mendengus pelan, dengan ragu Aston menyentuh lembut pipi Alora, mengelusnya perlahan.
Manik hitam legam Aston menutup, merasakan kulit halus wanita yang sedang terlelap di atas ranjang itu. Perlahan sudut bibirnya tertarik ke atas, entah kenapa. Di satu sisi ia mempertanyakan tindakannya tersebut, namun di lain sisi ia juga menikmati euphoria yang merasuk lembut ke dalam hatinya.
“Lady Alora, saya ... kebingungan. Apa tindakan saya selama ini salah? Heh, tentu saja saya salah. Lady, terima kasih sudah hadir di hidup saya yang membosankan, anda memberikan secercah harapan pada saya. Saya ingin mengetahui lebih jauh tentang anda, kisah anda, pengalaman menarik anda, dan—identitas anda.
Tebakan saya tidak mungkin 100% benar, tetapi saya selalu tepat sasaran. Lady Alora, anda seorang kalangan elit, namun anda bukan berasal dari daratan ini. Bukan dari Verbena karena wajah anda tidak seperti klan kami, bukan juga dari Douglas karena anda tidak terlihat nyaman dengan cuaca di sini. Kerajaan Leighton? Tcih, kulit anda seputih susu, tak mungkin berasal dari wilayah panas dan gersang itu.”
Sekitar satu jam Alora mendengarkan celotehan Aston. Wanita itu menyimak dengan tenang kalimat-kalimat yang keluar dari mulut pangeran Verbena tersebut.
Sebetulnya ia sudah merasa pegal dengan posisi itu, tetapi dia juga tidak ingin menganggu kegiatan Aston. Pria itu butuh seseorang yang mampu menampung cerita dan keluh kesahnya, tanpa harus mendapatkan penghakiman. Lagi pula, kapan lagi, kan, mendengarkan pria arogan berceloteh panjang lebar ditambah dengan intonasi rendah, jangan lupakan pula elusan lembut dari tangan hangat sang pangeran Verbena itu.
Lama kelamaan, Alora benaran merasa mengantuk karena tindakan Aston. Wanita itu mulai memasuki alam mimpinya, sampai akhirnya suara dentuman keras kembali menarik kesadaran Alora ke kehidupan nyatanya.
Kini Alora membuka matanya, mencoba mengumpulkan nyawanya yang masih melayang-layang. Maniknya bergulir melirik pria yang sudah memasang tampang datarnya, seperti biasa.
Berpura-pura terkejut, Alora mendudukkan dirinya secara tiba-tiba. Tatapan skeptis ia layangkan pada Aston.
“Pangeran Aston, sedang apa di kamar ini?” tanya Alora memasang ekspresi curiga.
Aston mengedikan bahunya malas. “Tidak tahu. Saya hanya ingin datang kemari. Apa masalah untuk anda?”
Kedua bola mata Alora membulat kesal. Ia berdecih sinis lalu menyilangkan tangannya di depan dada.
“Seorang pria yang masuk secara diam-diam ke dalam kamar wanita, apakah itu terdengar bukan sebuah masalah? Cih, yang benar saja! Bayi pun pasti tahu tindakan kurang ajar tersebut.”
“Aturan itu hanya berlaku untuk orang lain, tidak untuk seorang Aston,” sombong Aston tersenyum remeh.
“Hm, anda memang bukan orang.” Alora berujar spontan.
“Apa? Anda berniat menghina saya, kan?”
Alora melengos. “Saya tidak berkata demikian, Pangeran Aston.” Ia balik mengejek.
“How dare you! Jangan pernah menunjukkan ekspresi buruk itu di hadapan saya. You looks awfull.”