Tak peduli kerasnya badai menerpa tubuhnya, Aston tetap mencari benda bulat miliknya yang hilang entah kemana. Hembusan nafas berat sudah dilakukannya hingga menimbulkan asap putih dari mulutnya, tanda udara yang benar-benar dingin. Matanya bergerak kesana-kemari, mencoba menemukan benda itu ditengah salju yang terbawa angin. Siapa pun yang melihat Aston, sudah dipastikan mereka akan berasumsi bahwa pria itu sudah tak waras karena keluar ketika cuaca seekstrim ini. Jika tak segera masuk suhu tubuhnya akan semakin menurun, Aston akan kehilangan kesadarannya.
“Sial! Dimana gelang itu terjatuh?! Argh!” umpatnya dengan tetap menyapu penglihatannya pada halaman Istana Douglas .
Aston berjalan menyusuri Istana Douglas yang pernah ia lewati tadi malam. Sisi baiknya, tak ada siapa pun disana selain dirinya. Semua prajurit dan para tamu berada di dalam Istana, lebih tepatnya di ruang teater kerajaan. Sebagai pengganti kegiatan outdoor yang terpaksa harus ditunda karena badai, Raja Rafel mengganti kegiatan yang lebih santai dan aman dengan mengenalkan kebudayaan Douglas lewat pertunjukan seni.
◍•ᴗ•◍◍•ᴗ•◍ ◍•ᴗ•◍
Sementara Aston yang tengah menahan rasa dingin di luar Istana, Alora bergegas mencari pria itu. Semua pelayan dibebas tugaskan selama para tamu masih berada di ruang teater dan badai masih berlangsung.
Alora memperhatikan beratus-ratus wajah di ruangan hangat itu, namun wajah yang ia cari tidak ada di sana. Bibirnya berdecak pelan.
“Kemana perginya Pangeran Aston? Di kamarnya pun tak ada,” gumamnya merasa resah. Entah kenapa perasaannya tidak tenang setelah mendengar rumor Aston yang mengacau di ruang makan saat sarapan satu jam yang lalu.
Penglihatannya tertuju pada Rayn yang sedang berbincang dengan Jovian di sudut ruangan sana. Cepat-cepat ia mendekati kedua pria dengan tinggi yang hampir sama itu.
“Rayn,” panggil Alora.
Merasa namanya disebut, Rayn menoleh. Jovian pun melakukan hal yang sama. Keduanya tersenyum ketika melihat Alora mendekat.
“Alora, bagaimana kabarmu?” Rayn bertanya lembut. Ia merentangkan kedua tangannya, dan segera mendekap wanita yang kini memeluknya itu.
“Kabarku seperti yang kau lihat, Rayn. Sejak kapan kau berada di Douglas? Tak memberitahu ku, hm?” Wanita bersurai coklat itu menatap Rayn kesal. Cukup terkejut melihatnya di Istana Douglas.
Rayn tertawa renyah, ia mencubit pelan hidung Alora. “Maafkan aku, Ra. Aku sampai di Douglas sebelum badai datang, bersama kereta barang Pak Tua. Beliau membutuhkan bantuan untuk memindahkan karung teh dan bahan-bahan yang lain,” jelas Rayn.
Alora mengangguk paham. Bahan pembuatan teh memang sudah sangat menipis, sedangkan pesta masih berlangsung sampai nanti malam.
Alora melepaskan pelukannya. Tatapannya beralih pada pria yang memperhatikannya sejak tadi. Ia tersenyum dan merendahkan tubuhnya sekilas.
“Selamat pagi, Pangeran Mahkota Jovian.”
Jovian mengangguk singkat. “Pagi, Lady Alora. Apa kondisi anda sudah membaik?”
Mendengar pertanyaan Jovian, kening Rayn mengerut dalam. Pria itu menatap Alora, meminta penjelasan.
“Aku sempat merasa pusing tadi malam,” bisik Alora. Ia kembali menatap Jovian. “Saya sudah membaik, Pangeran Mahkota. Terima kasih atas pertolongan anda tadi malam.”
“Syukurlah jika begitu. Anda sudah mengucapkan kata-kata itu berulang kali, Lady. Tidak masalah, saya hanya membantu menegakkan keadilan untuk anda,” kata Jovian tulus.
Alora tersenyum tipis, tiba-tiba saja ia merasa tak enak karena mempunyai niat buruk pada pria baik di hadapannya ini. Terdiam sejenak, benaknya baru ingat alasan ia mendekati dua pria itu. Tatapannya kini berubah serius.
“Maaf mengalihkan topik pembicaraan secara tiba-tiba. Apa di antara kalian melihat keberadaan Pangeran Aston? Ia tak berada di kamarnya maupun di ruangan ini.”