WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #24

XXIV

Sudah lama Aston berputar-putar di sekitar halaman Istana megah itu, namun ia tak menemukan gelang yang Alora beri dua hari lalu. Pria itu kini berniat kembali karena badai yang semakin kencang.

Namun seonggok tubuh lemah yang terbaring di depan sana membuat netranya menyipit untuk memperjelas penglihatannya.

“Lady Alora?” gumamnya terheran. Aston berjalan cepat, sedikit berlari ketika tak menangkap pergerakan dari wanita itu.

“Lady Alora! Lady Alora! Lady Alora, buka mata anda!” panggil Aston panik. Ia menepuk pelan wajah Alora, namun tetap tak ada pergerakan darinya.

“Lady Alora, anda bisa mendengar saya?” tanyanya sekali lagi.

Kelopak mata Alora bergetar, manik birunya sedikit terlihat. Tarikan kecil di sudut bibirnya terlukis ketika melihat wajah tegas dan menawan di depannya, tudung hitam berbulu tebal menjadi alat untuk menutupi kepala pria itu.

“Saya bodoh karena mengkhawatirkan anda, Pangeran Aston,” bisik Alora terbata. Netra cantiknya kembali tertutup setelah berkata seperti itu.

“Lady! Hey, buka mata anda! Tck, sial.” Aston mengangkat tubuh ringkih tersebut.

Tatapannya memperhatikan sekitar, decakan kecil terdengar saat melihat badai yang tak kunjung mereda sejak sebelum fajar menyingsing. Dia melangkahkan kakinya menuju bangunan yang berada dekat dari posisinya. Tak mungkin ia memaksakan diri berjalan ke Istana pada cuaca yang sangat tidak bersahabat ini, ditambah kehadiran wanita di dekapannya yang membutuhkan kehangatan sesegera mungkin.

Bola mata hitam legam itu menatap wajah Alora. Perasaan khawatir dan bingung menyatu dalam benaknya. Ia bingung mengapa dirinya merasa khawatir, juga bingung harus berbuat apa.

Aston mengedarkan pandangannya, mencari tempat hangat untuk membaringkan Alora. Sebuah karpet yang tergulung rapih di sudut ruangan menjadi titik fokusnya. Segera Aston mendekati sisi itu dan membuka gulungan tersebut dengan kakinya.

Aston membaringkan Alora dengan perlahan. Punggung tangannya terulur menyentuh wajah dan leher Alora, tidak bisa dibiarkan. Suhu wanita itu sangat rendah, jika dibiarkan maka ia akan terkena hipotermia.

Pria itu melirik obor yang tidak menyala di dinding, mengartikan bahwa ada pemantik yang tersimpan di suatu tempat.

Keturunan Verbena murni itu bangkit dan mencari benda penghasil api tersebut. Menyusuri beberapa lubang di dinding, senyum tipisnya terbit saat tangannya menyentuh benda yang dicari. Cepat-cepat ia menyalakan obor tersebut dan menaruhnya didekat Alora, berharap suhu tubuh wanita itu meningkat.

Beberapa hal tidak selalu berjalan sesuai keinginan, usaha Aston membuat api ternyata tidak cukup untuk mengembalikan temperatur Alora. Tubuh wanita itu semakin menggigil, matanya terpejam rapat dengan posisi tangan mengepal didepan dada. Seuntas air mata luruh ke sisi wajahnya, keputusasaan bersemayam pada hati rapuh itu.

Aston kelimpungan, ia menyisir rambutnya kasar. Terdiam sesaat, pria itu mendekati Alora perlahan.

“Lady Alora, maaf saya tidak punya pilihan lain.” Aston berkata pelan. Dengan ragu tangannya menyentuh tali gaun Alora, membuka ikatan simpul pakaian wanita itu. Aston menelan ludahnya kasar saat melihat kulit putih Alora, ia memejamkan matanya sejenak dan kembali meneruskan kegiatannya.

Setelah selesai menanggalkan pakaian Alora, pangeran Verbena itu membuka mantel dan pakaiannya, sehingga memperlihatkan tubuhnya yang terbentuk sempurna.

Pria itu bergidik saat angin meniup tubuhnya melalui dinding yang tak rapat itu. Ia duduk bersebelahan dengan Alora, kembali menyakinkan dirinya bahwa perbuatan itu benar. Sekitar sepuluh detik Aston mengatur pikirannya, kini ia mulai berbaring.

Aston mendekatkan dirinya pada Alora, menempelkan kulit mereka agar Aston bisa membagi kehangatan dengan wanita yang hampir sekarat itu. Aston menarik mantelnya dan menutupi tubuhnya dan Alora. Karena ukuran mantel Aston yang cukup besar, keduanya dapat tertutup dengan baik.

Merasakan rasa hangat yang menjalar, Alora semakin mendekatkan dirinya pada Aston. Pergerakan dari wanita itu membuat jarak di antara mereka lenyap tanpa bekas.

Tubuh Aston menegang. Oh, ayolah, Aston pria normal. Jarak sedekat itu tidak aman untuk otaknya. Aston berdehem, ia mengangkat kepala Alora penuh kehati-hatian dan meletakkan di atas lengannya. Pria itu mengeratkan dekapannya, berusaha menyerap suhu dingin Alora.

Senyuman tipis terbit saat Aston merasakan hembusan nafas tenang dari Alora. Berhasil! Cara itu berhasil membantu Alora.

Aston mengusap lembut surai coklat wanita di dekapannya. Ia menghirup dalam-dalam aroma teh dari tubuh Alora. Pria itu menundukkan wajahnya, mengecup puncak kepala Alora.

“Maaf, saya lancang menyentuh anda. Demi keselamatan anda,” bisik Aston rendah. Pria itu kembali mengeratkan dekapannya.

Tatapannya memperhatikan obor yang bergerak-gerak, terkena hembusan angin. Aston menghela nafas pelan, ia melirik gaun Alora yang bersatu dengan pakaiannya.

“Tubuh saya siap menerima pukulan anda, Lady.” Aston terkekeh dan mulai memejamkan matanya, ikut menyusul Alora ke alam mimpi.


⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍ ◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍


Alunan musik terdengar samar dari dalam Istana Douglas, para bangsawan mulai melanjutkan pestanya. Langit yang menggelap dan sempat mengamuk selama berjam-jam lamanya kini mulai dihiasi ribuan benda kecil berkelip menggantung di atas sana. Bisikan pelan dari hewan bersayap putih, memanggil kesadaran wanita yang masih bergelung nyaman didalam dekapan sang dominan.

Bulu mata lentik itu bergerak, mulai menyesuaikan penglihatannya dengan ruangan temaram tersebut. Langit-langit dan tembok yang terbuat dari batu alam menjadi pemandangan pertamanya. Lama terdiam, ia melirik Burung hantu putih yang bertengger di atas lemari tua yang ada di sampingnya. Nampaknya lemari itu tempat penyimpan alat dan perlengkapan untuk bangunan itu.

Lihat selengkapnya