Bagai tersengat listrik, Alora terkejut saat Aston mendekap tubuhnya secara tiba-tiba. Ia terdiam, pasrah ketika pria bertelanjang dada itu menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian berukuran besar miliknya. Alora menyatukan kedua alisnya tat kala mendengar suara pria dari sisi pintu sana.
“Pangeran Aston?” ujarnya terheran melihat keberadaan Aston di bangunan khusus prajurit itu.
Aston mendongak, jantungnya berdetak kencang karena keterkejutan yang menghampirinya. Namun bukan Aston namanya jika ia tak pandai memanipulasi ekspresinya. Pria itu mendengus.
“Pengganggu,” kata Aston sinis. “Mencari apa kemari? Anda tersesat, Duke Avio? Pestanya bukan di sini.”
Avio menatap datar temannya itu. “Saya sangat sering datang ke Istana Douglas, letak sudut-sudut Istana ini sudah berada diluar kepala. Alasan saya kemari karena kakak anda meminta saya untuk menemukan adik tercintanya. Pangeran Mahkota berpikir anda kembali kabur. Namun ternyata—anda sedang bersenang-senang di sini.” Avio berkata dengan mata memperhatikan pakaian Aston dan gaun yang berserakan, ia terkekeh saat lengan Aston mendekap erat seseorang dibalik mantel hitam itu. Wanita tersebut pasti tak berpakaian, maka dari itu Aston menutupinya.
Aston mengendurkan dekapannya saat Alora memukul pelan dadanya, sepertinya ia terlalu kuat menekan tubuh Alora.
“Hm, seperti yang anda lihat, saya sedang bersenang-senang. Sampaikan pada Jovian, saya segera menemuinya.” Pria bersurai hitam itu melirik Avio sinis ketika temannya tersebut mencuri-curi pandang pada Alora, raut penasaran terlihat jelas pada wajahnya.
“Duke Avio, jika anda ingin bersenang-senang juga maka carilah pasangan anda. Jangan pernah berpikir menyentuh wanita saya.” Aston berseru tajam.
Avio berdehem kecil. “Tidak, saya hanya penasaran wanita manakah yang berhasil membangkitkan gairah anda. Mengingat anda yang selama ini tampaknya tak tertarik dengan lawan jenis.”
Mendengar ucapan Avio yang terlalu blak-blakan membuat alis Aston menukik tajam. Bukan apanya, namun ini menyangkut harga dirinya di hadapan Alora. Ia yakin hal ini akan menjadi bual-bualan wanita itu kelak.
“Saya pria normal! Namun sejauh ini hanya wanita saya yang mampu membuat saya tertarik,” ucapnya tenang. Ia mengecup puncak kepala Alora yang tertutup mantelnya agar lebih menyakinkan.
'Bugh!' Alora memukul perut Aston, memperingati pria itu agar tak berbuat macam-macam.
“Pangeran, sepertinya wanita anda kesulitan bernafas. Lihat, dia memberi anda isyarat dengan pukulan.” Suara Avio kembali terdengar.
Aston terkekeh. “Bukan kesulitan bernafas, tetapi wanita saya sudah tidak sabar—Aw! ” Aston terkejut ketika Alora mencubit keras perutnya. Pria itu menunduk. “Calm down, Love. Kita akan segera melanjutkannya,” bisik Aston dengan suara yang sengaja dikeraskan.
“Andai saya membawa pisau, sudah saya tusuk perut anda, Pangeran Aston.” Alora berbisik kesal.
Aston tertawa pelan, ia kembali melihat Avio.
“Duke Avio, wanita saya berkata bahwa aroma parfum anda sangat buruk. Dia menginginkan anda agar segera pergi dari sini.”
Bola mata cantik Alora membulat sempurna. Hell, kapan ia mengatakan kalimat itu? Aroma Avio saja tidak tercium olehnya. Hidung Alora hanya dimanjakan oleh aroma maskulin dari tubuh Aston.
Mendengar pernyataan Aston, Avio mengeraskan rahangnya. Demi apa pun ia ingin memaki wanita di balik mantel hitam itu. Ia mendapatkan parfum yang saat ini dikenakannya dari sang paman yang baru kembali dari benua seberang, dan seenaknya seseorang mengatakan aromanya buruk? Astaga, yang benar saja.
“Kurang ajar! Lady, siapa pun anda. Sumpah demi kebijaksanaan Republik Verbena, selera anda benar-benar buruk. Saya tidak pernah memiliki parfum murahan, semua yang saya pakai mempunyai kualitas tinggi. Berani-beraninya anda—” Avio tak meneruskan kalimatnya. Ia berdecak lalu membuang wajahnya ke samping. Pria itu sangat kesal dengan wanita Aston.
Pangeran Verbena itu menaikkan sebelah alisnya. “Jelas-jelas selera wanita saya lebih tinggi dibanding anda, Duke Avio. Aroma anda memang seperti kayu yang terbakar,” timpal Aston.
Avio membulatkan kedua bola matanya. “Omong kosong anda keterlaluan, Pangeran Aston.”
Aston terkekeh geli. Ia menumpukkan dagunya di atas puncak kepala Alora, menikmati wajah kesal temannya itu.
“Lekaslah pergi, anda sangat membuang waktu kami,” ucap Aston jengah. Pasalnya, ia mulai kedinginan karena punggungnya yang tidak tertutupi sehelai benang pun.
Dengusan keras keluar dari bibir Avio. Kilatan jahil terlintas dari manik coklatnya.
“Saya akan pergi dengan syarat—anda memberi saya tips tentang melakukan itu.”
“Melakukan itu?” tanya Aston tak mengerti.
Avio berdehem. “Seperti kegiatan anda dengan wanita sombong itu.” Pria bersurai merah itu menunjuk Alora dengan dagunya.
Aston dan Alora menahan tawa. Rupanya Avio mempercayai sandiwara mereka.
“Baiklah, sekarang pergilah. Tck, anda menghabiskan waktu bersenang-senang kami.”