Instrumen musik klasik mengalun lembut di dalam Istana megah itu, menggiring sekumpulan insan agar meliukkan tubuhnya. Keanggunan para kaum hawa terpancar saat gemerlapnya pakaian yang mereka gunakan terayun seiring gerakan dansa tersebut.
Malam itu merupakan malam puncak pesta ulang tahun Republik Douglas yang dilakukan selama dua hari tiga malam. Setelah melewati hari yang panjang, para bangsawan akhirnya sampai pada penghujung acara. Dengan dilakukannya dansa tersebut, bersamanya Raja Rafel menyampaikan rasa hormat dan terima kasih pada bangsawan yang sudah sudi menghadiri pestanya.
Di tengah suasana bahagia itu, terlihat Aston yang dengan setengah hati berdansa dengan wanita bersurai oranye, Putri Leighton. Berbanding terbalik dengan ekspresi pangeran bungsu Verbena itu yang suram, hati Ellys kini sedang berbunga-bunga. Senyuman manis wanita itu tak pernah luntur sejak Raja Wilder memerintah Aston untuk berdansa dengannya.
“Pangeran Aston,” panggil Ellys lembut. Kakinya melangkah pelan ke kanan dan kiri, menyeimbangi gerakan Aston.
Deheman malas dari Aston terdengar, sebagai tanggapan dari panggilan sang putri Leighton.
Ellys mendekatkan dirinya pada Aston. “Anda terlihat tak menikmati pesta ini. Hal janggal apakah yang mengganggu anda, Pangeran?” tanya Ellys dengan keingintahuan tinggi.
Aston menatap datar wanita di depannya itu. “Tidak ada kejanggalan yang mengganggu saya kecuali kehadiran anda.”
Pria itu sedikit mendorong Ellys dengan tangan yang terlentang hingga menciptakan sedikit jarak, lalu kembali menarik wanita itu agar berada diposisi semula.
“Mengapa anda membenci saya, Pangeran Aston? Berikan saya alasan yang jelas agar saya mampu memperbaikinya,” pinta Ellys dengan suaranya yang mengalun lembut, nyaris tak terdengar.
“Alasan?”
Ellys mengangguk. Keningnya sedikit berkerut ketika tawa dingin terdengar olehnya.
“Lelucon apa yang anda tertawakan?”
“Anda,” ucap Aston spontan.
“Pardon?”
Aston melirik Wilder dan Lista yang sedang memperhatikannya dari atas sana, lalu mengalihkan tatapannya pada Ellys. Pria itu menyunggingkan senyum miringnya dan sedikit merendahkan kepalanya pada sisi wajah wanita tersebut.
“Anda hanyalah sebuah lelucon bagi saya. Diri anda layak untuk ditertawakan.” Aston berujar meremehkan. Kedua sudut bibirnya kian tertarik saat air wajah Ellys yang memburuk. Aston dapat melihat kemarahan yang meminta diledakkan dari wajah anggun itu.
“Jaga batasan anda, Pa—”
“Saya tidak memerlukan alasan untuk membenci seseorang.”
Aston tersenyum miring. Alunan musik kian berubah ke nada tinggi, menandakan gerakan dansa yang harus ikut bergerak cepat.
Dengan lihai Ellys menyeimbangi langkah Aston, meski pun hatinya memanas karena perkataan pria di hadapannya itu.
“Apa semua ini karena wanita pelayan itu?” tunjuk Ellys dengan lirikan mata hijaunya.
Aston mengikuti arah pandang Ellys. Alisnya menukik tak suka ketika melihat Alora yang sedang berdansa dengan kakaknya. Tanpa ia sadari, perasaan aneh memenuhi batinnya.
Keterdiaman Aston dan cara tatapnya membuat benak Ellys menyumpah serapahi wanita bergaun hitam itu. Karena kekesalannya, tanpa terduga Ellys menyenggol meja, menyebabkan kue tart berukuran kecil jatuh dan mengenai gaunnya.
Suara pekikan terdengar, menghentikan para seniman yang sedang memainkan alat musiknya. Hampir seluruh tatapan penghuni aula besar itu tertuju pada sang tuan putri Leighton.
Melihat hal tersebut, bibir semi tebal milik Aston mengulum ke dalam. Ia tengah menahan tawanya. Pria itu melirik Avio dan Anne yang kini berjalan cepat mendekati Ellys. Tanpa berniat membantu, Aston memundurkan langkahnya, membiarkan kedua teman Ellys menjangkau wanita tersebut.
“Putri Ellys, astaga gaun anda terkena banyak noda!” pekik Anne tertahan.
Avio mengeraskan rahangnya. Ia menyapu penglihatannya pada para pelayan yang berada di sana.
“Siapa yang mengatur tata letak meja ini?!” tanyanya membentak. Tatapannya tertuju pada Alora yang berdiri tenang di samping Jovian. “Lady Alora! Pasti anda yang mengatur tata letak ruangan ini, 'kan? Anda pasti sengaja berniat mencelakai Putri Ellys.” Avio berujar tajam.
Kini banyak pasang mata memandang Alora dengan tatapan menuduh dan menyalahkan atas kejadian yang menimpa Ellys. Mereka terang-terangan melakukan perundungan melalui lirikan matanya.
Tak terima dengan tuduhan tersebut, Alora secara berani melangkah ke tengah aula.
“Duke Avio, dengan keras saya menentang omong kosong anda. Tugas saya hanya membuat dan mengantar teh, bukan mengatur ruangan ini. Jikalau pun saya yang bertanggung jawab dengan tata letak meja itu, anda tidak bisa sembarangan menyalahkan saya atas kelalaian Tuan Putri sendiri. Saya pikir penglihatan kaum elite masih berfungsi dengan baik,” tukas Alora tegas.
“Berani sekali seorang pelayan rendahan mengejek keturunan bangsawan murni sebagai insan yang lalai. Tidak beradab!” seru Anne tajam. Wanita berkulit eksotis itu menatap rendah Alora. Ia sedikit mendongak karena Alora yang lebih tinggi darinya.