WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #28

XXVIII

Terlihat rombongan kereta kuda Pak Tua berjalan rapih menuju tempat asalnya, Verbena. Terhitung sekitar tiga kereta kuda pengangkut barang berada dibarisan belakang dan dua kuda lainnya memimpin di depan.

Diantara kereta kuda tersebut, terdapat wanita berpakaian tebal sedang bergelung di dalam selimut hangat dengan jerami yang dilapisi kain tipis sebagai alasnya. Terkadang ia bergerak tak nyaman saat roda kayu kereta kuda itu mengenai bebatuan. Matanya mengerjap pelan, meringis ketika rasa pusing menyerangnya.

Di penglihatannya saat ini semua benda terasa berputar, bahkan telinganya dapat mendengar pembuluh darahnya yang seakan mengencang.

Masih berada di wilayah Douglas yang bersuhu dingin, membuat Alora yang terserang demam dan migran kian merapatkan pakaian juga selimutnya. Tarikan nafasnya terlihat berat karena udara dingin yang menembus dinding kayu kereta tersebut.

Sudah lebih dari 24jam rombongan itu berjalan. Menyusuri tebing, sungai yang membeku, serta hutan yang dilapisi tumpukan salju tebal.

Jarak Douglas dan Verbena sebetulnya tidak terlalu jauh, hanya memerlukan waktu sekitar 48jam atau dua hari. Namun karena badai yang mengamuk kemarin, membuat jalur terdekat antara kedua negara ini tertutup salju dan dahan pohon, sehingga mereka terpaksa harus mencari alternatif lain dengan melewati jalan berputar. Waktu yang diperlukan pun lebih lama, sekitar tiga hari. Itu puj jika mereka terus berjalan tanpa beristirahat.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja segerombolan bandit menghadang rombongan Pak Tua. Rayn dan Pak Tua sebagai pemimpin dengan cepat menarik tali kendali kuda mereka, membuat kereta kuda di belakang menghentikan langkahnya secara mendadak.

Dugh! Alora terlonjak saat sebuah gelas terjatuh mengenai dahinya. Dengan gerakan pelan ia memaksa tubuhnya agar terduduk. Bulu mata lentiknya berkedip perlahan dengan kerutan halus diantara kedua alisnya, mencoba mengendalikan rasa peningnya.

Pekikan suara kuda di luar sana membuat wanita itu meringsut keluar, mengikuti keingintahuannya dan mengabaikan kondisi tubuhnya yang tidak baik-baik saja.

Netra biru Alora mengecil tat kala melihat Rayn dan Pak Tua sedang berhadapan dengan segerombolan pria dengan kain hitam yang menutupi setengah wajah mereka. Jangan lupakan berbagai jenis senjata tajam digenggaman para pria itu.

Alora menatap sekitarnya dengan seksama. Dengusan kecil keluar dari bibirnya saat menyadari wilayah apa itu.

“Vaffel city¹, siapa sangka kita melewati kota bandit ini?” gumam Alora. Ia melirik pohon besar yang berada tak jauh dari tempatnya, dengan cepat kakinya melangkah ke pohon tersebut dan memperhatikan para pria bertubuh gempal tersebut.

“Si bodoh Rayn itu kenapa turun dari kudanya? Jangan katakan dia akan melakukan negoisasi?” monolognya dengan decakan diakhir kalimat.

“Selamat siang, Tuan-tuan. Kami dalam perjalanan pulang dari Istana Douglas menuju Verbena. Maaf jika keberadaan kami mengganggu ketenangan kalian. Kami tidak bermaksud dem—”

“Orang-orang Verbena? Kalau begitu kalian pasti memiliki banyak emas dan berlian, huh?” seru salah satu pria itu menyela ucapan Rayn.

Pak Tua yang masih berada di atas kuda kini ikut turun, berdiri di samping Rayn.

“Tidak, Tuan. Kami hanya seorang pedagang biasa yang beruntung bisa melayani para bangsawan saat acara ulang tahun Republik Douglas.” Pak Tua angkat bicara. Matanya menatap waspada penduduk asli daerah itu.

Pria bertubuh gempal tadi menatap rekannya dan tertawa bersama. Mereka mentertawakan dua pria berbeda usia itu yang secara gamblang menjawab pertanyaannya tanpa berpikir lagi.

“Ah, kalian baru saja bekerja rupanya. Seharusnya mereka memberikan kompensasi atas kerja keras kalian, 'kan?” tanya bandit itu dengan senyuman kecil.

Merasa pria bertubuh gempal itu tidak membahayakan, Pak Tua menghela nafas lega. Ia melemaskan punggungnya dan mengangguk. Ia berniat membuka mulutnya namun terhenti dengan kalian dingin dari seseorang di belakangnya.

“Kompensasi diberikan untuk orang yang rela bekerja keras, bukan untuk seseorang yang hanya berniat buruk dengan mengganggu perjalanan orang lain.” Alora berujar tenang namun tersimpan nada dingin pada setiap katanya. Wanita itu berjalan mendekati Pak Tua dan Rayn.

Melihat kehadiran Alora di sana, Rayn membulatkan kedua bola matanya. Segera ia hendak membuka mantelnya tetapi ia urungkan saat Alora menundukkan telapak tangannya, tanda penolakan.

Pria yang masih berada di atas kudanya itu mengerutkan alisnya tak suka dengan jawaban yang jelas-jelas menyindirnya. Ia menatap Alora tajam.

“Justru kalianlah yang mengganggu ketenangan kami, Lady. Ini wilayah kami!”

“Tetapi jalanan ini milik umum, Sir. Siapa pun diizinkan dengan bebas melewati jalan ini,” timpal Alora mencebikkan bibirnya.

Salah satu pria yang terlihat lebih muda dari para bandit yang lain tersenyum miring. Pria itu menggerakkan kudanya agar melewati sang pemimpin.

“Biar saya yang berbicara dengan wanita itu, Ayah.” Pria itu berucap pelan dan turun dari kudanya.

Pria tinggi dengan tato kupu-kupu dilehernya tersebut melangkah menuju Alora yang kini mengangkat dagunya, diiringi dengan tatapan datarnya. Jemarinya dengan lancang mengelus sisi wajah Alora dan langsung dihadiahi tepisan kasar dari wanita bersurai coklat itu.

Pria itu terkekeh. “Wanita kasar seperti anda membuat adrenalin saya semakin tertantang, Lady. Ingin bermain, hm?” ucapnya rendah.

“Brengsek! Menjauh darinya!” murka Rayn setelah mendengar perkataan pria tersebut.

“Jaga ucapan anda, anak muda.” Salah satu teman pria bertato itu berteriak.

Lihat selengkapnya