Dengan tergopoh-gopoh seorang pria paruh baya berlari melewati semak-semak belukar dan tumpukan akar. Tak terhitung sudah berapa kali ia terpeleset karena licinnya jalanan yang sedang pria itu lalui. Beberapa kali juga dia berhenti sejenak hanya untuk menarik nafasnya.
Pandangannya menyapu jalanan bercabang di depan sana.
“Lady Alora berkata agar mengikuti jalanan kecil ini, tetapi entah kenapa sesuatu membuat saya ingin melewati jalan itu,” ucap Pak Tua disela nafasnya yang tersengal-sengal.
Matanya memperhatikan sekawanan burung yang berterbangan dari salah satu dahan pohon yang paling tinggi diantara pohon lainnya.
Pak Tua melangkahkan kakinya ke arah tersebut tanpa berpikir sesuatu berbahaya berada di tempat itu. Dari balik semak yang hanya sebatas dagunya, ia menatap waspada sebuah camp yang dijaga ketat oleh pria bersenjata. Sepertinya orang dengan status tinggi tengah berada di dalam salah satu tenda itu, atau mungkin saja camp tersebut milik kelompok bandit yang menyerangnya dan Alora.
Ketika fokus mengintip, secara kebetulan sebuah sarang semut merah terjatuh tepat mengenai kepalanya. Terkejut karena itu, Pak Tua tanpa sadar menginjak ranting dan membuat semak tempat persembunyiannya bergerak-gerak.
“Penyusup!” teriak salah satu pria bersenjata.
“Semuanya, waspada!” Sang ketua menginterupsi.
Para pria bersenjata itu kini berlari ke arah semak tersebut, menodongkan berbagai macam jenis senjata mereka kepada seorang pria tua yang sedang kesakitan akibat gigitan semut merah.
Merasa hidupnya terancam, Pak Tua mengambil sebuah ranting berukuran sedang dan mengayunkan ranting tersebut secara acak.
“Pergi kalian! Pergi! Kalian bandit tidak tahu malu!” Pak Tua berteriak, melawan rasa takutnya.
Mendengar perkataan Pak Tua, para pria bersenjata itu saling pandang. Kerutan pada alisnya mengartikan bahwa kebingungan kerap hinggap dibenak mereka.
Sang ketua mengangguk, tanda agar anak buahnya mundur dan memberikan jarak dengan Pak Tua. Setelahnya ia maju perlahan, mencoba agar tak membuat Pak Tua merasa terancam.
“Ini camp kami, Sir. Seharusnya anda-lah yang pergi dari sini,” ucap sang ketua.
Pak Tua menatap waspada pria di depannya. Matanya sesekali melirik pada pedang putih mengkilap milik pria itu. Ia kembali mengangkat ranting pohon yang sempat diturunkannya.
“Wilayah ini sudah memasuki Republik Verbena. Kalian suku Vaffel tidak seharusnya mendirikan tenda di sini!” sentak Pak Tua. Beberapa kali ia mengibaskan tangannya ke belakang leher saat merasakan hewan kecil berjalan di sana.
“Suku Vaffel?” bingung si ketua.
“Hey, gelandangan! Apa anda sudah tidak waras? Berani sekali mengatai kami sebagai suku miskin itu!” seru salah satu pria yang memegang tombak.
Kening Pak Tua mengerut dalam. Perlahan matanya memperhatikan wajah-wajah di depannya, kemudian turun melihat sebuah tanda pengenal yang menggantung di pinggang mereka. Sebuah ukiran bunga yang tak asing baginya.
“Kalian bukan dari suku Vaffel?” tanya Pak Tua memastikan.
Si ketua mengangkat sebelah alisnya. “Kami praju—”
Sret! Sebelum si ketua meneruskan kalimatnya, sebuah anak panah mengarah cepat menuju ranting pohon yang sedang Pak Tua pegang. Saking kencang dan tajamnya anak panah itu, ranting pohon berukuran sedang tersebut terjatuh dari genggaman Pak Tua dan terbelah menjadi dua bagian. Tidak bisa dibayangkan jika benda tajam itu mengenai lengan Pak Tua.
Masih dalam perasaan terkejut, suara telapak kaki kuda dari arah samping kanan mereka kini berhasil mengambil atensi insan yang sedang salah paham itu.
Paras datar tak tersentuh dengan iris setajam elang yang sedang mengincar mangsanya dan surai hitam bak gelapnya malam, bergerak indah seiring hembusan angin yang menerpa, membuat mantel hitamnya berkibar memamerkan karisma dan pesonanya. Tak jauh di belakangnya, terlihat pria bersurai merah mengikuti.
Busur beserta anak panah yang menempel dipunggung kedua pria itu menandakan mereka tengah berburu, atau lebih tepatnya selesai berburu. Asumsi tersebut dikuatkan dengan seekor rusa dan burung yang tersampir tak berdaya di atas kuda mereka.
Melihat hal tersebut, sang ketua berlutut diikuti anak buahnya.
“Selamat sore, Your highness. Syukurlah anda kembali dengan selamat. Duke Avio sepertinya pasangan berburu yang tepat bagi anda, Pangeran Aston.”