WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #30

XXX

Kehangatan yang dihasilkan dari kain basah yang menempel pada dahi dan pertengahan leher, membuat kening Alora mengerut halus. Ringisan kecil dilakukannya ketika ia merasakan nyeri pada lengannya saat secara tak sadar wanita itu menggeliat dalam tidurnya.

Suara kayu yang tengah dilahap si jago merah¹ menyapa indra pendengarannya. Kecantikan alami yang Tuhan berikan pada iris biru lautnya perlahan menangkap objek ciptaan manusia di atasnya, sebuah kerangka dan kain tahan air juga kedap udara, membuatnya berpikir keberadaannya saat ini adalah di dalam tenda.

Lama terdiam, ia berusaha mengingat hal apa yang menimpanya beberapa jam lalu. Maniknya memperhatikan ribuan bintang yang menggantung cantik melalui kain transparan tenda tersebut. Tanpa disadari, tarikan lembut pada sudut bibirnya tergambar indah saat sebuah wajah tegas dan menawan terlintas saat sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya.

“Tabib tidak mengatakan sebuah luka pada lengan dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang,” seru seorang pria dari ambang pintu.

Senyuman Alora seketika luntur setelah mendengar suara bariton yang sedikit mengejutkannya itu. Ia mendengus kasar dan berusaha bangun dari tidurnya.

“Luka pada lengan tidak berpengaruh pada kesehatan mental, namun suara anda yang bagai alat musik rusak itu mampu membuat mental seseorang terganggu,” ujar Alora sinis. Wanita itu menyandarkan tubuhnya perlahan ke sandaran ranjang lipat tersebut.

Aston terkekeh rendah mendengar ucapan Alora. Ia melangkah masuk dan duduk di samping wanita yang sedang meletakkan kain basahnya ke dalam mangkuk berisi air hangat.

“Bagaimana keadaan anda, Lady Alora?” tanya Aston menatap lawan bicaranya.

Alora balas menatap Aston. “Tidak seburuk beberapa waktu lalu, sebelum seseorang sudi mengulurkan tangan pada saya.”

Keduanya tersenyum tipis.

“Namun sepertinya rasa pening masih nyaman bersarang di dalam kepala saya,” lanjut Alora.

“Hm, anda kehilangan banyak darah dan pria tua tak berguna itu mengatakan kesehatan anda yang sedang menurun, jadi hal tersebut seharusnya tidak aneh. Tabib memberitahu saya untuk memberikan anda cairan itu saat anda sudah siuman.” Aston menunjuk sebuah gelas yang berisi cairan berwarna hijau yang berada di atas meja kecil di tengah ruangan itu.

Alora memperhatikan gelas tersebut. Seakan peka, Aston bergerak mengambil minuman itu dan memberikannya pada Alora.

“Saya sarankan tahan nafas anda saat meminumnya,” usul Aston.

Wanita itu menaikkan salah satu alisnya. Larangan adalah sebuah perintah, Alora mendekatkan hidungnya pada gelas tersebut. Aroma menyengat dari beberapa jenis daun dan rempah-rempah terhirup kuat olehnya, membuat Alora terbatuk. Ia kembali memberikan gelas itu pada Aston. Pandangan tak bersahabat dilayangkannya.

“Anda berniat menghilangkan nyawa saya, huh? Tak perlu beralasan atas nama tabib, saya tahu anda tidak menyukai kehadiran saya di dunia anda, Pangeran Aston.” Alora berucap sewot.

Aston menarik salah satu sudut bibirnya dan mendekatkan wajahnya pada wanita yang tengah memasang ekspresi garang tersebut.

“Ah, Lady Alora, anda cukup cerdas juga. Andai perkiraan anda benar, saya tidak perlu menggunakan cairan seperti ini untuk menghilangkan nyawa anda, Lady. Mengingat, sentuhan kecil dari saya mampu membuat anda tersiksa dibanding jenis racun mana pun,” ucap Aston setengah berbisik. Jemari pria itu terulur menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Alora yang sedikit pucat. Manik hitamnya tertuju pada bibir kering wanita itu.

“Enyahkan omong kosong itu dalam benak anda, Lady. Waktu saya jauh lebih berharga digunakan untuk memusnahkan musuh dibanding menolong orang yang saya tidak inginkan kehadirannya.”

Alora menatap datar pria di depannya. Ia ikut memajukan wajahnya, menyisakan jarak yang nyaris tak ada.

“Jadi itu artinya anda menginginkan kehadiran saya, Pangeran Aston? Atau suatu hari anda berniat menjadikan saya sebagai waktu berharga itu?” kekeh Alora rendah.

“Apa saya terlihat seperti pecundang yang suka menunda, Lady?”

Alora memperhatikan setiap lekukan wajah tegas Aston, tanpa sadar keduanya saling menyamakan deru nafas masing-masing.

“Anda juga berpikir demikian, hm?” Alora bertanya balik.

Iris kedua insan itu saling terkunci, mencoba menyelam dan berkelana ke dalam pikiran satu sama lain. Namun lagi-lagi atensi Aston selalu salah fokus pada bibir kering wanita itu.

“Jangan terlalu sering membantah saya, Alora, atau—”

“Atau apa, Pangeran Aston?”

Lihat selengkapnya