WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #31

XXXI

Menikmati keindahan langit malam wilayah perbatasan, Alora dan Rayn menatap ribuan bintang di atas sana. Setelah menyelesaikan makan malam bersama prajurit Verbena beserta pemimpinnya, wanita dengan mantel hitam kebesaran itu mengajak Rayn untuk berjalan-jalan.

Awalnya rencana itu ditentang oleh si pemilik mantel, Aston. Namun berkat sikap keras kepala Alora akhirnya Aston mengizinkan, dengan syarat mereka harus mau dikawal oleh beberapa pengawal.

Dengusan singkat terdengar saat manik biru itu melirik dua pria yang berdiri tak jauh darinya.

“Kalian tunggu di sana saja. Beri ruang untuk saya dan Rayn,” titah Alora malas.

“Pangeran Aston memberi perintah untuk menjaga anda dalam jarak sekurangnya Lima meter, Lady.” Salah satu prajurit berseru. Mereka mulai melangkah maju.

Alora membulatkan matanya. “Sir, berhenti!”

Kedua prajurit itu menahan langkahnya.

“Kami hanya akan duduk di ujung tebing itu. Tak akan ada bahaya di sana. Awasi kami dari tempat ini saja, okey?” kata Alora dengan tatapan memohonnya.

Kedua pria suruhan Aston tersebut saling pandang. Beberapa menit terdiam, mereka mengangguk setuju.

“Baiklah, Lady. Tetapi kami akan mendekat bila waktu kalian sudah habis.”

“30 menit,” sambung Alora cepat.

Pengawal tak berseragam itu mengangguk singkat lalu memundurkan langkahnya, tanda mempersilahkan Alora dan Rayn untuk melakukan Quality time.

Melihat itu, Alora menarik lengan Rayn dan berjalan ke ujung tebing sana. Keduanya duduk dengan kaki menjuntai, menggerakkannya perlahan. Mata cantik keduanya menyapu pemandangan di bawah sana. Nampak pepohonan tinggi dan gunung yang bersebelahan dengan lautan yang membeku. Itu merupakan wilayah Douglas.

Alora semakin mengeratkan mantel Aston pada tubuhnya saat hembusan angin mengarah kepadanya, menerbangkan beberapa dedaunan kering yang tidak tertimbun salju. Ia melirik pria di sampingnya yang masih terdiam sedari tadi.

“Rayn,” panggil Alora pelan.

Sang empu pemilik nama menoleh, tersenyum manis dan kembali menghadap ke depan.

Alora menautkan alisnya tak suka. “Apa tumpukan salju itu lebih menarik dari wajah sahabat mu?” tanya wanita itu sinis.

Rayn terkekeh kecil. Ia kembali menoleh, memandangi wajah Alora yang tersorot sinar rembulan.

“Hm, sepertinya begitu,” jawab Rayn dengan nada jenaka.

Alora mendelik kesal. Wanita itu berdecih keras lalu membuang wajahnya ke depan, ikut memperhatikan pemandangan di bawah sana.

Melihat temannya yang merajuk, pria bersurai hitam itu tertawa kecil. Tangannya terulur menyentuh kening Alora dan memijatnya lembut.

“Jangan mengerutkan kening mu saat kau merasa pusing.”

“Kenapa?” gumam Alora. Ia mulai memejamkan matanya, menikmati perbuatan Rayn.

“Rasa pusing mu semakin menjadi.”

“Hm, begitukah?” Alora membuka kelopak matanya saat menyadari sesuatu. “Sebentar, bagaimana bisa kau tahu aku sedang merasa pusing?”

Rayn menghentikan pijatannya sejenak. Ia tatap wajah penuh tanya sahabatnya itu.

“Kita tumbuh dan besar bersama, Alora. Terasa aneh jika lebih dari 24 tahun aku tak memahami mu,” ucapnya tenang dan kembali memijat pelipis Alora. “Kecuali saat kau memilih menyimpannya dariku.”

Lihat selengkapnya