Keesokan harinya, Aston beserta para prajuritnya kembali meneruskan perjalanan menuju tanah asal mereka. Rombongan itu diperkirakan akan sampai Istana pada sore hari, jika tidak ada masalah.
Berbeda dari sebelum kehadiran Alora dan dua pria berbeda usia itu, Aston yang awalnya menaiki kuda kini memilih duduk tenang di dalam kereta kuda bersama tamunya, Alora. Sejak pertama kali keberangkatan hingga kini, hanya keheningan yang meliputi dinding kereta berlapis emas itu.
Alora yang memilih melihat pemandangan di luar sana dan Aston yang menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan mata terpejam. Pangeran Verbena itu terlihat kelelahan. Tidak heran, ia terjaga semalaman.
Wanita bermanik biru itu mengerutkan keningnya saat menangkap sekelebat bayangan di balik pepohonan sana. Ia menyipitkan matanya, mencoba memperjelas penglihatannya.
“Pergerakkannya cepat. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas.” Alora bergumam kecil.
Ia kembali menatap tajam pepohonan yang terlewati. Sebuah tanda silang pada salah satu pohon menjadi titik fokusnya. Senyuman miring tercetak pada bibirnya saat membaca kata yang ditulis dengan cairan merah pada batang pohon tersebut.
DEAD!
Alora terkekeh. “Sepertinya banyak yang menginginkan kematian saya, ya. Mereka tidak tahu malaikat pencabut nyawa sudah bersahabat dengan saya.”
Atensinya beralih pada pria di hadapannya yang sedang tertidur pulas.
“Wajah anda cukup tampan saat sedang tertidur. Hm, seharusnya pertemuan kita tidak pernah terjadi, Pangeran Aston. Kedekatan kita memang salah,” kata Alora dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Saya merasakan perasaan yang sama dengan anda, Pangeran. Kesepian membuat anda memiliki sifat dingin yang tak tersentuh, membeku bagai bongkahan es. Rasa sakit karena diabaikan. Kekecewaan juga kebencian yang besar pada orang-orang terdekat anda. Jovian—sebagai satu-satunya yang paling membuat anda nyaman ternyata menjadi alasan utama perasaan iblis itu hadir.”
Ditengah monolognya, sebuah guncangan kecil pada kereta kuda mereka membuat Alora beralih duduk di samping Aston saat pria itu akan terjatuh. Ia berdehem pelan tat kala kepala Aston bergerak di bahunya, mencari posisi yang nyaman. Darahnya berdesir saat merasakan nafas pria itu mengenai lehernya.
Alora menatap bulu mata tebal nan lentik itu dari dekat. Jemarinya terulur mengelus lembut surai hitam Aston yang mulai memanjang, menutupi hampir setengah wajah. Wanita itu tersenyum tipis.
“Siapa sangka dibalik kerasnya diri anda ternyata tersimpan rasa sakit yang luar biasa. Pangeran Aston, saya dapat melihat kelembutan yang anda coba pendam. Jangan biarkan rasa iri terhadap Pangeran Mahkota semakin memenuhi hati anda, atau anda akan terbunuh karenanya.” Alora berbisik rendah.
Tatapan Alora kini kembali melihat pemandangan di luar sana. Udara yang sedikit terasa hangat menandakan mereka sudah berada di wilayah kekuasaan Verbena. Tebing-tebing tinggi juga suara aliran sungai berhasil membuat Alora menghela nafas lega. Matanya mulai terpejam, berpikir dirinya sudah aman karena telah keluar dari wilayah musuh.
Namun saat nafas tenangnya selesai dihembuskan, Alora dikejutkan dengan seekor Burung merpati yang tiba-tiba masuk ke dalam kereta kuda milik Aston. Terdapat darah yang mengotori bulu putih hewan tersebut. Seseorang sengaja melukai burung itu lalu menerbangkannya ke dalan kereta kuda mereka.
Alora terdiam memperhatikan merpati yang kini mengepakkan sayapnya, bagai memohon pertolongan untuk kehidupannya. Percikan darah hampir memenuhi sudut kereta kuda Aston, bahkan mengenai gaun Alora dan celana Aston. Diambang kematiannya, merpati itu menatap Alora intens. Hewan itu seperti sedang menyampaikan sesuatu lewat tatapan tersebut. Merpati yang kini sudah terkulai lemas tak bernyawa itu bagai melayangkan tatapan kasihan pada wanita yang menatapnya datar.
“Hewan yang malang,” ucap pria yang baru saja membuka kelopak matanya.
Alora melirik Aston yang nampak enggan mengangkat kepalanya dari bahunya. Ia kembali memperhatikan bangkai burung tersebut.
“Apa teror murahan ini sering anda dapatkan?” tanya Alora tenang.
Aston menggeleng. “Sejauh ini tidak ada yang pernah berani melakukan itu. Hanya orang tak waraslah yang berani menganggu ketenangan saya.”
“Ah, begitukah?”
Alora menjauhkan kepala Aston dari bahunya dan dihadiahi dengusan kasar dari pria itu. Aston kini memperhatikan Alora yang sedang memeriksa bangkai tersebut.
“Abaikan saja, Lady Alora. Biar bawahan saya yang membereskannya.” Aston berujar malas. “Kembali duduk di samping saya.”