WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #34

XXXIV

Secerah mentari yang mulai menyapa dunia dan seriang burung-burung kecil berkicau merdu, wanita dengan pita merah yang mengikat rambutnya kini tersenyum puas melihat benda ditangannya. Sebuah kotak kayu yang dibungkus rapih dengan kain hitam berhiaskan Bros burung Phoenix, sebagai makhluk mitologi kesukaan sang sahabat, Rayn Chopper.

Hari ini genap sudah 25 Tahun usia Rayn. Berbeda dari tahun sebelumnya yang hanya merayakan dengan tangan kosong, kali ini Alora ingin memberi sang sahabat hadiah sekaligus kado pertamanya sejak kecil. Selama ini Alora belum pernah memberikan hadiah spesial untuk teman masa kecilnya itu. Walau pun Rayn selalu bersyukur dengan hal kecil yang diberikan Alora, namun bagi Alora itu semua belum cukup untuk membalas kebaikan sahabatnya tersebut. Rayn pantas mendapatkan sesuatu yang terbaik dan berharga, layaknya peran dia dalam kehidupan Alora.

Alora menggenggam erat kotak berukuran sedang ditangannya. Dengan tatapan bangga ia mengagumi hasil karyanya sendiri.

“Astaga benda ini cantik sekali. Meski pun sebagian tertutup oleh kain, ukiran yang terlihat seperti bersinar dan menyita perhatian. Aku memang hebat.” Alora memuji dirinya sendiri dan terkekeh. “Isinya tidak semenarik kotak kayu ini, tapi Rayn seharusnya lebih suka dengan hadiah utamanya,” gumamnya.

Wanita itu berdiri dari duduknya, menyambar tas anyaman jerami miliknya lalu melangkah keluar. Alora menyempatkan untuk menenggak segelas air putih yang selalu tersedia di atas meja sebelum benar-benar pergi dari rumahnya.

Bola mata cantiknya mengecil tat kala sinar matahari masuk ke dalam retinanya. Senyuman manis selalu ia tunjukkan, seolah mencoba membagikan emosi positifnya pada dunia. Banyak pejalan kaki yang berpapasan dengannya, Alora sapa dengan riang dan gembira. Ia benar-benar bersemangat. Maniknya melihat benda yang sedang ia peluk, tawa kecil mengalun ketika benaknya membayangkan ekspresi senang Rayn saat menerima hadiah tersebut.

“Lady Alora, Lady Alora!” panggil beberapa anak perempuan berpakaian kumal. Mereka adalah anak jalanan sekaligus teman Alora.

Alora yang mendengar namanya terpanggil membalikkan tubuhnya, memperhatikan tiga anak perempuan yang kini berlari ke arahnya.

Setelah sampai di hadapan Alora, ketiga anak itu berjongkok, berusaha menetralkan deru nafas mereka yang memburu.

“Kalian sedang berlomba, ya?” tanya Alora menatap satu persatu wajah kelelahan anak tersebut.

Salah satu anak itu mendongak kemudian menggeleng. “Tidak, Lady. Kami ingin meminta bantuan anda.”

Sebelah alis Alora terangkat. “Bantuan macam apa yang kalian inginkan?” Alora kembali bertanya.

Ketiga anak itu berdiri tegak, saling pandang dan mengangguk bersamaan, seakan berkomunikasi tanpa suara. Anak perempuan dengan surai blonde menggapai tangan Alora dan mendongak, menunjukkan bola mata hijau bulatnya yang menggemaskan.

“Bisakah anda menemani kami untuk bertemu dengan Sir Rostlet?”

“Sir Rostlet?”

Ketiga anak itu mengangguk cepat.

“Seseorang berkata Sir Rostlet sedang membagikan banyak makanan dan cemilan untuk anak-anak yang tidak mampu,” timpal anak dengan surai oranye. Ia menoleh ke samping, menatap anak perempuan berwajah bulat. “Benarkan, Vioni?” tanyanya memastikan.

Anak bernama Vioni itu mengangguk. “Benar, Bella.”

Alora mengerutkan keningnya. “Siapa yang berkata seperti itu?” tanya Alora lagi. Pasalnya ia tidak mengetahui informasi tersebut. Dirinya sempat bertemu Rostlet kemarin namun pria paruh baya itu tidak mengatakan apa pun.

“Seorang pria dengan mantel berwarna coklat dan—lencana Republik Verbena didadanya.” Vioni menjelaskan dengan antusias. “Ayolah, Lady. Temani kami, ya. Kami harus pergi kesana dengan anda,” sambung Vioni memelas.

Menyadari adanya kejanggalan, wanita muda itu menatap anak-anak di depannya dengan serius. Ia memasukkan kotak kayu yang sedang digenggamnya ke dalam tas jeraminya lalu berjongkok, menyetarakan tinggi anak-anak tersebut.

“Mengapa harus dengan saya? Sir Rostlet mengetahui kalian, tanpa saya pun dia pasti memberi kalian makanan,” ujar Alora terheran. Manik birunya menatap satu persatu wajah polos di hadapannya.

“Pria bermantel coklat tadi berpesan agar mengajak anda kesana. Dia berkata—hm, aku lupa,” gumam Bella diakhir. Ia menyenggol Vioni. “Vioni, apalagi yang pria tadi katakan?” bisiknya namun masih terdengar oleh Alora.

Terlihat Vioni yang mengetuk pelan keningnya, tanda sedang berpikir. “Ah, ya! Pria tadi mengatakan bahwa menu spesialnya adalah Pottage of Black Birds dan Roasted Raven¹.”

Alora menegakkan tubuhnya. Ia terdiam beberapa menit lalu membulatkan matanya ketika mengetahui makna dibalik menu tersebut. Maniknya bergulir, menangkap sebuah asap pekat yang membumbung tinggi ke langit. Rasa khawatir kian menumpuk tat kala menyadari asap tersebut berasal dari kediaman Rostlet. Segera ia berlari kencang, mengabaikan teriakan dan teman kecilnya yang mengejar.

Alora semakin mempercepat larinya saat melihat peternakan dan rumah Rostlet mulai dilahap si jago merah². Gonggongan dan lolongan Anjing-anjing Rostlet terdengar seperti meminta tolong, Ayam dan beberapa hewan unggas penghuni gudang bercat merah itu kini berterbangan juga berlarian kesana kemari. Suara Domba dan pekikan Babi memberi tanda bahwa suhu panas tersebut mulai membakar mereka.

Lihat selengkapnya