Awan hitam yang menyelimuti Republik Verbena membuat siapa saja enggan bepergian keluar. Badai yang tengah mengamuk membawa angin kencang dan gemuruh petir serta hujan deras yang datang tanpa memberi kabar, menyebarkan keresahan juga rasa khawatir akan adanya bencana dan malapetaka.
Tuhan bagai memberi teguran atas tindak kejahatan ciptaannya terhadap ciptaannya yang lain. Sebuah kejahatan yang tidak termaafkan, tidak berprikemanusiaan, yaitu pemutusan paksa kehidupan seseorang. Bukan hanya satu, namun empat nyawa dilayangkannya sekaligus.
Atmosfer yang membeku kini memenuhi ruangan dingin itu. Tatapan penuh kebencian dan dendam seakan membutakan panca indra wanita bersurai coklat tersebut. Mata sembabnya semakin memerah, darah yang bergejolak memanaskan emosi yang sedang kacau balau. Rahangnya mengeras ketika mengingat nama yang Rostlet sebutkan pada detik-detik kehidupannya, dan kini sang pemilik nama berada tepat di depan matanya.
'I hate you, Aston.' Alora berbicara dalam hati.
Pria bersurai hitam itu menatap Alora iba, tanpa menyadari sebuah kebencian dan dendam sedang dibisikkannya di balik iris biru tersebut. Tangannya terulur menyentuh bahu Alora, namun tepisan kasar kembali wanita itu lakukan. Ia menghembuskan nafas pelan.
“Lady Alora, saya turut berduka atas apa yang kini menimpa anda. Saya—”
“Pergi,” sergahnya memotong perkataan sang lawan bicara.
Aston mendekat dan dengan cepat Alora menjauh. Kentara sekali wanita itu tidak nyaman. Tetapi benak Aston hanya berpikir mental Alora hanya terguncang, tidak lebih.
“Lady, saya tahu Rayn merupakan sahabat anda namun peran dia di samping anda hanya cukup sampai sini. Semua yang terjadi sudah takdir. Tuhan—”
“Jangan menyebutkan nama Tuhan dengan mulut kotor anda di hadapan saya dan jasad sahabat saya. Rayn tidak seharusnya mengalami ini. Dia—dia, Rayn.” Alora menatap jasad Rayn. Air mata yang sempat berhenti kini kembali mengalir, membasahi wajah merah Alora. “Seharusnya yang terkapar itu aku, bukan dirimu. Semua ini salahku,” cicitnya dengan suara yang hampir menghilang.
Aston terdiam memperhatikan Alora yang kembali menangis. Lama kelamaan hatinya ikut berdenyut mendengar tangisan pilu Alora. Tak terasa seuntas cairan bening menetes, dan segera ia hapus. Tanpa memperdulikan peringatan beberapa waktu lalu, Aston dengan cepat mendekap wanita tersebut. Ia memeluknya semakin erat seiring tubuh kecil itu memberontak minta dilepaskan.
“Alora, semua ini bukan salah anda,” bisik Aston. Pria itu mengeratkan dekapannya, tanpa sadar isakan kecil keluar dari bibirnya.
Alora memberontak. Ia dengan keras memukul dada Aston bertubi-tubi berharap pria itu melepaskannya, namun yang terjadi sebaliknya. Emosinya kini bercampur aduk, pikirannya benar-benar kacau. Wanita itu kembali histeris, bahkan tangisnya semakin kencang dibanding sebelumnya. Hingga akhirnya leher Aston yang terbuka lebar menjadi objek lampiasan emosinya.
Ringisan Aston terdengar saat Alora menggigit lehernya. Manik tajamnya terpejam, berusaha menahan rasa sakit pada lehernya. Tangan Aston terulur mengusap surai Alora, sebagai tanda perizinan bagi wanita itu.