Derap langkah kaki membuat Aston yang tengah memandangi wajah pucat Alora melirik pada asal suara. Dengusan keras keluar dari bibirnya saat ia mengetahui bahwa Jovian-lah si pelaku. Atensinya kini kembali melihat wanita yang masih terbaring di hadapannya, mengabaikan insan yang baru saja berdiri bersebrangan dengannya.
“Bagaimana keadaan Lady Alora?” tanya Jovian memecah keheningan pada ruangan dengan dinding kayu tersebut. Tempat itu merupakan tempat pengobatan sementara, sebelum Alora akan dibawa ke rumah sakit yang lebih memunpuni, hanya menunggu sampai badai reda.
“Apa saya terlihat seperti tabib?” Aston balik bertanya. Ia menatap Jovian sinis.
Jovian menghela nafas pelan.“Aston, anda—”
“Keadaannya masih kritis. Terlalu banyak darah yang dikeluarkan sehingga tubuhnya sangat lemah.” ucap Aston memotong perkataan Jovian. Manik hitamnya sedikit meredup tat kala ia kembali menatap Alora. “Luka pada lengannya membengkak dikarenakan banyaknya tekanan dan beban yang Alora lakukan. Tabib berkata untuk memindahkan Alora ke rumah sakit pusat sesegera mungkin. Dengan begitu dia akan mendapatkan pengobatan yang lebih baik.”
Mendengar penjelasan Aston, Jovian mengangguk singkat. Ia memperhatikan raut wajah sang adik, mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu Aston.
“Kita akan memindahkan Lady Alora ke tempat yang layak setelah badai usai. Bagaimana pun juga kondisi tubuh Lady harus terlindungi dari cuaca yang ekstrem. Saya sudah menghubungi tabib Istana untuk merawat Lady Alora sementara waktu di sini. Jadi—anda tak perlu khawatir, Aston.”
“Saya tidak mengkhawatirkannya. Semua tindakan saya hanya semata-mata bentuk tanggung jawab sebagai tuannya,” ujar Aston datar.
“Anda bukan tipe pria yang akan peduli dengan bawahan anda—kecuali jika terdapat hal menarik pada orang tersebut.”
Mendengar perkataan Jovian, kedua alis Aston menukik tajam. Ia menepis kasar tangan Jovian dan berdiri, menatap penuh ketidaksukaan pada saudaranya itu.
“Anda berbicara seolah mengetahui segalanya tentang saya, Jovian.”
“Saya memang memahami anda, Aston.”
Pria bersurai hitam itu mengeraskan rahangnya. Letupan emosi mulai memadati dadanya. Aston menatap dingin iris biru Jovian kemudian terkekeh rendah.
“Anda memahami saya?” tanya Aston menunjuk dirinya sendiri. Tawa konyol keluar dari bibirnya saat Jovian mengangguk tegas.
“Aston, sejak kecil kita sudah saling memahami satu sama lain. Saya adalah saudara kandung anda. Sejak kecil hanya saya tempat bergantung anda, tapi kenapa—”
“Karena saya bukan anak kecil lagi! Saya bukan Aston kecil anda yang naif dan polos. Saya—Octavian Aston Brodwieck, seorang pangeran dengan julukan tiran, seorang pangeran dengan beribu rumor buruk dan tuan dari wanita ini. Hanya itu.” kata Aston menunjuk Alora. Pria itu menekan setiap potong kata yang keluar dari bibirnya. “Anda tidak memahami saya sama sekali, Jovian. Anda hanya memahami Ayahanda dan Ibunda.”
Mendengar intonasi Aston yang memelan, Jovian menatap adiknya sendu. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan kenapa Aston berubah sejauh itu. Adiknya benar-benar dingin, tak seperti dahulu yang selalu tersenyum dan berbincang hangat dengan dirinya. Jovian merindukan Aston saat sebelum pria itu pergi ke akademi dan saat dirinya belum resmi mendapat gelar 'Pangeran mahkota'.
“Apa ini karena tahta?” Jovian bertanya lembut. Kebiasaannya dulu saat berinteraksi dengan sang adik.
Pertanyaan singkat yang dilayangkan padanya membuat emosi Aston kian memanas. Ia membanting ludah dan menunjuk wajah Jovian dengan jari telunjuknya.
“Gelar dan tahta anda adalah sebuah malapetaka. Saya bukan bajingan yang akan iri dengan hal merepotkan seperti itu. Jika ingin—semudah membalikkan telapak tangan, tahta itu langsung berada digenggaman saya. Jadi jangan pernah berpikir saya menginginkan posisi anda, Pangeran Mahkota Jovian.”
“Lalu mengapa anda menjadi dingin pada saya, Aston? Hal apa yang memicu sikap keras anda? Beritahu saya, agar saya dapat membantu anda.”
“Anda tidak perlu tahu.” Aston berkata cepat dan menyambar cawan berisi air yang tabib gunakan untuk membersihkan Alora beberapa waktu lalu. Ia melangkahkan kakinya, berniat keluar dari ruangan itu namun terhenti saat Jovian menimpali perkataannya.