“Alora Serye,” seru pria bermantel putih dari ambang pintu.
Wanita yang kini sedang bersandar pada ranjang rawatnya menoleh sekilas dan kembali menatap bangunan-bangunan mewah di luar jendela sana. Manik birunya seakan ingin menghanguskan bangunan paling besar juga indah dengan cat emas dan penjagaan ketat di seberang kamar rawatnya.
Pria bermantel putih itu terkekeh pelan kemudian duduk pada sisi ranjang Alora, ikut menatap objek yang tengah Alora tatap.
“Bangunan ibukota sangat indah bukan? Khususnya Istana Republik Verbena.” Pria itu berkata tenang.
“Ketenangan yang sangat saya benci,” gumam Alora dengan suara yang hampir tak terdengar.
Sang lawan bicara tersenyum kecil. “Anda sekarang berada di dalam kebencian itu, Lady.”
Alora mengalihkan atensinya pada pria di sampingnya. Sebuah lebam kecil pada sudut bibir pria itu membuat salah satu alis Alora terangkat.
“Anda terlihat lebih menarik dengan lebam itu. Seharusnya dia membuat lebih banyak.”
“Dia?”
“Hm, dia yang menciptakan lebam pada sudut bibir anda, Pangeran Ozias,” kekeh Alora.
Ozias menyentuh sudut bibirnya dan ikut terkekeh. Pria bersurai coklat itu merogoh saku mantelnya, mengambil sebatang nikotin dan menyalakannya.
“Diskusi yang melibatkan nama anda, kemudian seseorang terbawa emosi karena itu,” ucap Ozias setelah menghembuskan asap rokoknya ke udara. Ia menoleh, menemukan wajah Alora yang penuh tanda tanya. “Pangeran Aston adalah pria yang sedang anda puji. Dialah yang membuat lebam ini.”
Mendengar nama Aston, ingatan Alora kini kembali terlempar pada saat terkelam dalam hidupnya. Saat dimana pertama kalinya ia mengalami kehilangan secara nyata dan rasa sakit yang teramat. Momen ketika Rostlet berpesan untuk menjauhi Aston tanpa sempat menjelaskan alasan atau bahkan memberi petunjuk sedikit pun. Pada saat itu pikirannya yang kacau menuduh Aston sebagai tersangka tanpa menghiraukan gelengan lemah Rostlet, dan pada saat itu juga dunianya seakan berhenti tanpa harapan untuk hidup.
Sekarang, Alora menyadari kebodohan dan sempitnya pemikiran beberapa hari lalu. Jika saat itu ia benar-benar tiada, maka siapa yang akan membalas dendam atas ketidakadilan keluarga Chopper dan Rostlet, siapa yang akan menghukum pelaku, dan siapa yang akan meneruskan perjuangannya. Kini Alora sendiri, benar-benar sendiri. Dia harus benar-benar pandai mengandalkan kemampuan diri.
“Siapa yang membawa saya kemari? Dan mengapa saya di sini?” tanya Alora datar.
Ozias menghisap rokoknya. “Jovian.”
“Apa?” Alora menaikkan salah satu alisnya, sedikit tak percaya dengan ucapan pangeran Douglas itu.
“Pangeran mahkota yang membawa anda. Kondisi tubuh anda sangat lemah, bahkan sepertinya kematian tak sabar untuk memeluk anda. Hanya rumah sakit ini yang mampu memberikan pengobatan maksimal untuk anda.” Ozias menjelaskan. Bibirnya tersenyum miring ketika pertanyaan terlintas pada benaknya. “Ah, anda berharap Aston-lah yang membawa anda kemari?”