WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #40

XL

Suara bariton yang menyapa indra pendengarannya seakan menggelitik tubuhnya. Seluruh bulu Alora meremang saat kehangatan dari bahu kekar pria di hadapannya mengalir dan berbagi dengan dirinya. Isak tangis wanita bersurai coklat itu terhenti, mencoba mencerna situasi yang terjadi.

“A-aston?” cicitnya kala mengenali aroma maskulin pria itu.

“Saya di sini, Alora. Anda tidak sendiri.” Aston berbisik lembut. Ia mengusap pelan surai Alora, memeluknya erat ketika wanita itu kembali terisak.

Semakin intens usapan jemari Aston pada surai Alora, semakin kuat juga wanita itu menangis. Respon Aston yang tenang dan sabar membuat benak Alora merasa bersalah karena praduganya. Wanita itu kembali histeris. Hanya ada penyesalan dan rasa bersalah yang bersarang dihatinya. Emosinya tak terkendali. Alora menangis sejadi-jadinya, menumpahkan rasa sakit yang selama ini dipendamnya.

Sementara yang dilakukan Aston hanya diam dan merengkuh wanita muda yang tengah rapuh itu. Sesekali jemarinya mengusap puncak kepala Alora, tanpa niatan menyela atau pun menghentikan rancauan wanita itu. Membiarkan pakaiannya dibanjiri air mata Alora.

Beberapa waktu berlalu, saat dimana gelombang emosi Alora sedikit menurun, Aston mengendurkan dekapannya. Ia menunduk, memperhatikan Alora yang masih tersedu-sedu akan isakannya. Jemari Aston terulur menghapus air mata Alora dan mengusap lembut wajah merah yang masih menempel pada dada bidangnya.

Bibir Aston sedikit tersungging ketika dengan jahil ia mencubit pelan ujung hidung Alora yang cukup memerah, dan langsung dihadiahi dengusan keras dari wanita itu. Kekehan ringan Aston menggema saat tangan kecil Alora memukul perutnya, tak terlalu kencang namun jika kelamaan mampu membuat kulit membiru.

Pangeran Verbena itu menangkap lengan Alora dan menaruh lengan kecil itu ke belakang pinggangnya, sehingga kini Alora terlihat balas memeluknya. Aston tersenyum kecil ketika tak merasakan penolakan dari Alora, bahkan sebaliknya, Alora mengeratkan pelukannya.

Masih berusaha mengendalikan isakannya, Alora membuka suara. “Sedang apa di sini?”

“Mendekap anda,” ucap Aston spontan. Ia kembali terkekeh saat decakan keras menyapa indra pendengarannya. “Saya kemari karena—saya ingin kemari.”

Alora mendongak, mengangkat sebelah alisnya saat bola mata hitam legam itu bertubrukan dengan miliknya.

“Apa? Itu bukan tindakan kriminal,” seru Aston. “Ah, ayolah, Alora. Saya tidak membutuhkan alasan khusus untuk kembali ke rumah saya.” Aston berucap tenang.

Mendengar hal tersebut kening Alora mengerut tak suka. Perkataan Aston bukanlah jawaban yang diinginkannya. Ia melepaskan pelukannya, berniat menjauhkan wajahnya dari dada bidang Aston namun dengan cepat pria itu menahan tengkuknya.

Alora berdesis kesal. “Tujuan anda pulang, 'kan? Istana Verbena bukan di sini, jika anda lupa. Lepaskan lengan an—”

Shht, tenanglah, Alora. Saya menyukai ketenangan pada rumah saya.” Aston berkata pelan. Satu tangannya membawa lengan Alora agar kembali memeluknya.

Kalimat singkat pria itu membuat Alora terdiam. Ia menipiskan bibirnya, menahan senyum yang ingin terbit. Alora berdehem, “Sudah saya katakan rumah anda bukan di sini. Pulanglah!” Nada bicaranya sengaja dibuat-buat tengah kesal.

“Saya sudah pulang, Alora. Anda rumah saya dan anda adalah tujuan saya,” ungkap Aston. Pria bermantel hitam itu mengeratkan pelukannya dengan tetap berhati-hati karena tubuh Alora yang masih berada pada tahap pemulihan. “Anda alasan saya kemari,” sambungnya.

“Mengapa?” tanya Alora cepat.

Aston menatap wajah penasaran Alora. Ia memiringkan kepalanya, berpura-pura berpikir. “Hm, mengapa, ya? Entahlah. Apa anda tahu mengapa?” Aston balik bertanya.

“Kebodohan nyata yang pernah saya dengar,” gumam Alora.

Aston tersenyum tipis. Pria itu mendekatkan wajahnya pada wajah sembab Alora, hampir menyentuh hidung mancung wanita itu. Kedua manik berbeda pigmen itu saling terkunci satu sama lain, menyelami iris masing-masing. Aston mengagumi setiap inchi wajah Alora, khususnya ketika bulu mata lentik itu berkedip anggun.

“Karena itu anda, Lady Alora. Tanpa bertanya pun anda sudah memilki jawabannya.”

“Apa saya terlihat menyedihkan?” Alora kembali bertanya. Kali ini intonasi wanita itu melemah.

Lihat selengkapnya