Hamparan tumbuhan hijau menjadi pemandangan nyata netra biru dan hitam itu. Aroma harum dan menyegarkan yang ditebarkan oleh berbagai jenis bunga, kini mengiringi setiap langkah kedua insan yang tengah bercengkrama ringan di taman tempat pengobatan tersohor di Republik tersebut. Sesekali mereka berhenti hanya untuk sekedar memperhatikan detail taman atau pun bentuk bunga yang asing dimata si pasien, Alora.
“Pangeran Aston, sepertinya sudah cukup lama anda menemani saya. Apa anda tak memiliki tugas resmi seperti para pangeran pada umumnya?” ujar Alora memperhatikan wajah Aston dari samping.
Sang empu yang ditanya tersenyum tipis dengan pandangan yang masih lurus ke depan, fokus memperhatikan jalan setapak yang akan dilalui keduanya.
“Lady Alora, anda ingin tahu yang sebenarnya?” Aston balik bertanya.
Alora mengangguk singkat.
Sang pangeran Verbena menuntun Alora menuju batu besar yang berada di tepian danau. Danau itu tidak besar namun terlihat memanjang, sedikit seperti sungai.
Jernihnya air dan sejuknya suasana di tempat itu membuat tarikan kecil pada kedua sudut bibir Alora perlahan nampak. Manik cantiknya bergerak, memandangi perairan tersebut. Dua ekor Angsa putih yang sedang berenang dan bercanda di tengah sana kini menyita perhatian wanita itu. Ia tersenyum.
“Tempat ini indah.” Alora bergumam.
“Hm, anda akan lebih terpesona pada danau yang berada di dalam Istana. Lebih luas dan jernih dari tempat ini. Air danau ini hanyalah aliran dari danau Istana. Perhatikan terowongan kecil itu ... ” Aston menunjuk sebuah terowongan kecil di ujung danau. “Dari sanalah air mengalir.”
Alora menyipitkan matanya. “Anda benar. Airnya mengalir kemari. Jika anda tak menunjukkannya, saya tak akan tahu. Terowongan itu pun sangat kecil, dan ditutupi akar yang menjuntai,” kata Alora setelah melihat objek yang Aston tunjukkan. Ia menoleh ke arah Aston, “Bagaimana bisa anda mengetahuinya?”
Aston tersenyum tipis. Ia ikut duduk berdampingan dengan Alora, menumpukan kedua tangannya kebelakang tubuh dan menatap langit cerah ibukota Verbena, menerawang masa lalunya.
“Jovian memberitahu saya. Seperti yang anda ketahui, saya tidak memiliki kebebasan sejak kecil. Semua aktivitas dan pergerakan saya selalu diawasi dengan ketat, terkecuali saat saya membersihkan diri dan saat bersama saudara saya.” Aston menjeda kalimatnya, menyunggingkan senyum tipis sebelum kembali meneruskan perkataannya. “Pada waktu itu adalah hari debutantes¹ saya, namun saya menolak untuk bergabung dengan para bangsawan gila itu, dan Jovian mengetahuinya. Dia menuntun saya untuk pergi ke halaman belakang Istana yang kebetulan dapat diakses melewati kamar pria itu. Jovian membujuk saya, dengan imbalan akan membawa saya keluar Istana pada saat itu juga. Tentu saja saya tidak percaya.”
Alora menyimak dan mendengarkan cerita Aston dengan seksama. Benaknya membayangkan wajah Aston dan Jovian remaja yang sedang pria bersurai hitam itu ceritakan. Tanpa sadar Alora ikut tersenyum kala melihat Aston menarik kedua sudut bibirnya.
“Kami berenang dan menyelam ke dasar laut, sebelum Jovian membawa saya melewati terowongan itu, dan ... bersenang-senang di danau ini,” ucap Aston memelankan suaranya di akhir. Kini ia tersenyum miris ketika melihat terowongan air tersebut. Ada sedikit kerinduan tetapi dendam dan kebencian lebih mendominasi.
Merasa tak mendapat respon apa pun dari wanita di sampingnya, Aston menoleh. Benaknya yang mengira Alora tengah tertidur ternyata salah.
Wanita itu terdiam dengan tatapan terpaku pada pahatan sempurna di sampingnya. Deru nafasnya sangat tenang, namun tidak dengan hatinya yang tengah sibuk mendeskripsikan wujud indah sang pangeran bungsu Verbena itu.
Alis tebal dengan lengkungan rapih, mata tajam bagai Elang yang sedang mengawasi mangsanya, hidung mancung lancip dan bibir semi tebalnya yang berwarna merah membuat wanita mana pun tergoda untuk mencicipinya. Ah, jangan lupakan garis rahangnya yang tegas sempurna, disertai urat yang senantiasa timbul saat emosinya memanas pada lehernya.
'Tampan,' batin Alora berbicara.
Aston yang ditatap seperti itu berdehem kecil. Jari telunjuknya terulur menyentuh hidung Alora. “Jangan menatap saya seperti itu. Anda membuat saya ingin menenggelamkan wajah anda ke dasar danau,” ketusnya.
Alora yang baru sadar akan perbuatannya mendengus, merasa sia-sia telah memuji pria arogan itu beberapa detik lalu, meskipun itu hanya di dalam hati. Irisnya kini menatap jernihnya air danau di bawahnya, memperlihatkan segerombolan ikan kecil yang tengah menari-nari.
“Kembali ke topik awal. Jadi, apa anda seorang pangeran yang tak memiliki tanggung jawab?” Alora mengulangi pertanyaannya.
Aston terkekeh kecil dan menegakkan duduknya. Iris hitamnya bergerak melihat ke atas, lebih tepatnya pada menara megah dengan berpuluh jendela di sekelilingnya. Ia menunjuk bangunan tersebut.
“Menara itu ruang kerja saya. Ah, lebih tepatnya ruang pribadi karena hanya saya yang dapat mengakses,” ucap Aston dengan nada bangga.
Alora memperhatikan bangunan tinggi yang Aston maksud. Setiap balkonnya ditumbuhi tanaman liar dan akar yang merambat pada pembatas, namun tumbuhan itu tak sampai membuat bangunan tersebut terlihat tua, melainkan nampak aesthetic. Kening Alora berkerut kala menyadari kejanggalan pada bangunan tersebut.
“Mengapa tak ada satu pun bunga di sana? Tanaman itu seharusnya berbunga lebat.” Alora terheran.