Bruk! Terdengar suara pintu tertutup. Di dalam ruangan gelap gulita itu terdengar deru nafas lembut kedua insan yang baru saja bertukar sapa. Ketukan sepatu yang menggema membawa wanita di gendongannya semakin masuk ke dalam ruangan.
“Anda akan meninggalkan saya di tempat ini?” seru wanita itu mengeratkan tangannya pada leher sang dominan.
Dalam kegelapan itu Aston tersenyum, mendudukkan wanitanya di tepian ranjang dan meletakkan tangannya pada kedua sisi tubuh wanita itu.
“Saya tidak rela kegelapan menguasai anda. Biarkan saya menyalakan lilin untuk memisahkan kalian.” Aston berkata lembut, menerpa bibir wanita di depannya dengan miliknya.
“Silahkan saja, saya tidak melarang.”
“Namun lengan anda berkata demikian, Alora.”
Alora yang menyadari perbuatannya segera melepaskan lingkaran tangannya. Wanita itu berdehem dan meringsut mundur.
Melihat hal tersebut, Aston kembali tersenyum. Pria dengan mantel hitam itu bangkit lalu berjalan untuk menyalakan lilin di atas nakasnya.
Semua pergerakan Aston tak pernah lepas dari manik indah Alora. Ketukan sepatunya, jemarinya yang dengan anggun menyalakan korek dan menghidupkan beberapa lilin yang tersusun di atas Candelabra, hingga cara Aston melepaskan satu persatu kancing mantel dan jasnya, menyisakan kemeja putih yang mencetak otot pria itu yang terbentuk sempurna.
“Tutup bibir anda sebelum hewan masuk ke dalamnya,” peringat Aston mendekati Alora dengan tangan yang sibuk melipat kemejanya hingga siku, memperlihatkan tonjolan otot tangannya.
Dengan cepat Alora mengatupkan mulutnya. Wanita itu mendongak kala Aston berdiri tepat di hadapannya.
“Apa?” tanya Alora menaikkan salah satu alisnya.
Aston terdiam, memperhatikan wanita yang tengah mendongak itu. Tangannya terulur menggapai rahang Alora, menyapu dagu hingga bibir wanita itu dengan ibu jarinya. Nampak senyuman kecil pada bibir Aston saat maniknya terkunci pada bibir merah Alora.
“I curse your imagination,” ucap Alora.
Aston tertawa, kembali menggerakkan ibu jarinya pada bibir ranum itu.
“What's my imagination, hm? ”
“Tanyakan pada diri anda sendiri.”
“But I ask you, darling.” Aston berbisik rendah dengan suara beratnya.
Alora berdecak. Ia menepis lengan Aston hingga genggaman pria itu pada rahangnya terlepas. Alora berniat bangkit namun segera Aston dorong hingga ia terbaring dengan Aston mengukung di atasnya. Pria itu tersenyum remeh kala Alora menatapnya tajam.
“Decakan tadi menyinggung perasaan saya, Alora,” ucap Aston mengetuk-ngetuk pelan bibir bawah wanita di bawahnya.
Alora menunjukkan senyum paksanya dan kembali mendatarkan ekspresi.
“Oh, ya? Glad to hear that.”
Pria dengan dua kancing kemeja teratas yang sudah terbuka itu mendekatkan wajahnya pada Alora dan berhenti saat ujung hidung keduanya bersentuhan. Iris hitam dan biru itu saling terkunci, memperhatikan pantulan masing-masing melalui manik keduanya dibawah temaram cahaya lilin yang bergerak tertiup angin.
Aston dan Alora bagai tenggelam di tengah keheningan malam bersama kelembutan cahaya kecil ruangan itu.
“Berhenti membantah perintah saya,” kata Aston menekankan kalimatnya.
Alora menaikkan sebelah alisnya lalu tertawa rendah. Ia mendorong Aston agar terbaring di sampingnya dan meletakkan lengannya di atas dada bidang pria dibawahnya.