WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #47

XLVII

Gemerlap bintang dan terangnya sinar rembulan yang menggantung di atas sana seakan tersenyum menyaksikan aksi berani insan muda itu. Suara serangga yang terdengar menyatu dengan kekehan kecil Alora.

Wanita dengan surau berantakan itu mengikat tali gaunnya dengan tatapan terfokus pada jendela yang terbuka di atas sana. Salah satu sudut bibirnya tertarik kala bayangan Aston terlihat di balik tirai putih itu. Ia menggeleng pelan.

“Hasrat dan ego sama tingginya,” kekehnya.

Alora mengalihkan perhatiannya pada menara tinggi di seberangnya, menatap lekat-lekat dan tersenyum penuh arti.

Stempel Putra Mahkota ... mengapa dia menginginkan benda itu?” gumam Alora.

Tak selang berapa lama ia terdiam, Alora menaikkan tudung mantelnya dan melangkah tenang mendekati bangunan indah milik Jovian. Sesekali manik birunya bergerak kesana-kemari kala mendengar derap kaki.

Alora berdiri tenang saat dua prajurit akan melewati lorong yang sama dengannya. Mata cantiknya melirik pilar besar disisinya, segera ia melangkah ke belakang pilar tersebut. Lirikan kecil dilakukannya ketika penjaga itu berada tepat di balik tembok dihadapannya.

“Tangga tersembunyi, heh?” gumam Alora saat tak sengaja menggeser patung kecil disampingnya.

Ia melangkah, menaiki anak tangga yang tertutup tirai besar berwarna merah dengan ukiran emas itu. Iris cantiknya bak dimanjakan oleh pahatan rumit dan kemewahan arsitektur kuno sepanjang tangga tersembunyi tersebut.

Alis Alora kembali menukik tipis ketika menemukan Tiga pintu yang saling berhadapan di ujung tangga sama. Ia menghentikan langkahnya diantara pintu tersebut, menganalisis dengan teliti benda disekelilingnya. Alora mengulurkan tangannya pada salah satu pintu, membukanya hingga menampakkan tirai tembus pandang dibaliknya.

Senyuman puas terpatri kala sebuah menara yang dikelilingi tumbuhan liar terekam jelas oleh penglihatannya di luar sana.

“Jika menara itu milik Aston, berarti tempat saya berpijak adalah milik Jovian. Sangat kebetulan sekali,” kata Alora sumringah.

Dengan perasaan senang ia melangkahkan kakinya menerobos tirai tersebut, tanpa berpikir panjang tentang kemungkinan buruk apa yang akan terjadi di dalam sana.

“Lady Alora.” Suara bariton dari sudut sana menginterupsi.

Sontak wanita bertudung itu menghentikan langkahnya. Maniknya melirik seorang pria berseragam lengkap tengah bersandar di ujung sana, melipat kedua tangannya didada. Alora berbalik, menatap datar wajah yang sangat familiar itu.

“Sir Luke, senang bertemu dengan anda.” Alora menyapa tenang.

Mendengar sapaan tenang tersebut, pria dengan pedang dipinggangnya itu tersenyum miring dan mendekati Alora.

“Lady Alora, sebuah kehormatan dapat menyapa anda secara langsung,” ujarnya tenang.

Luke mengangkat tangannya, berniat menyentuh tudung Alora namun terhenti saat Alora memundurkan kakinya, disertai tatapan penuh tanya yang tergambar jelas pada wajah wanita itu.

Luke tertawa rendah, melangkah maju dan memperbaiki tudung Alora. “Walau penjagaan saat ini tak ketat, anda harus menyembunyikan wajah anda dengan baik. Jangan sampai orang lain memergoki anda seperti saya.”

Alora menatap heran pria di hadapannya. Bukan karena ada hal aneh pada wajah Luke melainkan respon dan sikap pria itu yang berbeda dari biasanya. Luke saat ini terlalu berani dan—sedikit kurang ajar.

Lihat selengkapnya