Luke yang awalnya memasang wajah garang dengan cepat menormalkan ekspresinya ketika sang tuan berjalan mendekat. Ia menundukkan kepalanya singkat, sebagai bentuk rasa hormat, begitu pun wanita dengan penutup wajah di belakangnya.
“Selamat malam, Your royal highness. Saya di sini untuk memastikan kinerja para pelayan dan keamanan ruangan anda, Your royal highness.” Luke menoleh ke arah Alora, “Nampaknya pelayan ini memiliki niat tersembunyi.”
Jovian menatap satu-satunya lawan jenis yang ada di ruangan itu. Keningnya berkerut tipis kala merasa tak asing dengan manik biru wanita tersebut.
“Mengapa anda berpikir demikian, Luke?” Jovian bertanya tanpa mengalihkan tatapannya pada Alora.
“Pergerakan Lady ini sangat mencurigakan. Dia menyebut nama anda tanpa gelar kehormatan, dan tidak memiliki tata krama yang cukup baik, dimana hal tersebut adalah persyaratan utama untuk lulus ujian pelayan Istana,” jelas Luke singkat.
Setelah mendengar penjelasan Luke, Jovian menaikkan salah satu alisnya. Ia melangkahkan kakinya, menatap dari jarak yang sedikit dekat. Maniknya menyipit saat menyadari pakaian wanita tersebut.
“Lady, setahu saya Istana belum melaksanakan perekrutan pelayan baru. Siapa yang membawa Anda masuk ke dalam Istana?” tanya Jovian.
Dibalik kain penutup itu Alora menggigit bibirnya. Pikirannya tiba-tiba saja bingung harus melakukan apa. Jovian merupakan idolanya, wajar bila ia selalu merasa gugup ketika berhadapan.
“Ampuni saya, Your royal highness. Saya memang bukan pelayan Istana Verbena. Keberadaan saya di sini adalah untuk menggantikan sepupu saya yang sedang sakit di kampung halaman,” bohongnya dengan suara yang dibuat-buat.
“Benarkah?” Jovian bertanya lagi.
Alora mengangguk cepat.
Sudut bibir Jovian tertarik tipis. “Luke, panggilkan kepala pelayan dan perintahkan ia untuk datang kemari sekarang juga.”
Seketika Alora mengangkat wajah. Sebisa mungkin ia mengendalikan reaksi tubuhnya yang tengah terkejut.
“Baik, Your royal highness.” Luke berkata patuh dan segera beranjak dari ruangan itu.
Sepergian bawahannya, Jovian memperhatikan Alora dengan tangan yang ia letakkan dibelakang tubuhnya, membuat benak Alora berkecamuk riuh. Didalam hati wanita itu tengah berdoa agar seseorang dapat menyelamatkannya kali ini. Perjalanan misinya masih panjang, Alora tak ingin kepalanya terpisah dari tubuhnya sebelum berhasil menyelesaikan misi dan tujuannya.
“Mengapa pakaian anda seperti itu? Tidakkah sepupu anda memberitahu aturan berpakaian pelayan Istana ini?” Jovian kembali menginterogasi.
Tanpa sadar Alora berdecak keras. Ia merasa kesal dengan pria di hadapannya itu.
Mendapat respon diluar perkiraan, seketika Jovian menaikkan kedua alisnya. Ia terkekeh singkat kemudian berjalan ke belakang tubuh Alora. Jovian mencondongkan tubuhnya, berkata rendah pada sisi wajah Alora.
“Perhatikan pantulan diri Anda di dalam cermin itu. Kira-kira hukuman apa yang akan anda dapatkan jika kepala pelayan memberikan kesaksian yang berbeda dengan penjelasan anda, Lady?”
Iris Alora memperhatikan pantulan dirinya dan Jovian pada cermin besar di depan sana. Ia menelan ludahnya kasar kala meniknya dan Jovian saling terkunci melalui benda itu.