“Alora akan tinggal di Istana sebagai pelayan pribadi saya.” Aston berseru tegas.
Brak! Gebrakan keras terdengar. Suasana ruangan bernuansa gelap itu semakin mencekam kala dua pria Verbena di meja diskusi itu saling melayangkan tatapan datar.
“Istana bukanlah tempat penginapan seorang gelandangan, Pangeran Aston!” bentak Wilder.
“Gelandangan?” ulang Aston. Ia terkekeh singkat, melirik wanita dengan surai oranye di seberangnya. “Jika begitu, wanita ini pun seorang gelandangan. Tak memiliki cukup uang untuk menyewa tempat tinggal dan tak mempunyai rumah.”
“Cukup, Aston! Anda sudah keterlaluan!” murka Wilder dengan wajah yang memerah dan mata membulat sempurna.
Aston tersenyum miring, “Ayahanda, sebenarnya anda memiliki hubungan tersembunyi apa dengan wanita Leighton ini? Setelah saya perhatikan, nampaknya anda sangat membela mati-matian dirinya.”
Mendengar celetukan itu, Lista dan Jovian yang turut hadir di tengah ruangan tersebut ikut menatap sang kepala keluarga.
“Aston, perhatikan ucapan anda. Saya hanya membela dan memberikan keadilan untuk Putri Ellys. Hormati dia sebagai tamu kerajaan dan calon pengantin anda.”
“Omong kosong! Sampai akhir hayat pun saya tak akan sudi menerima perjodohan sialan itu!” ucap Aston tajam.
Ellys yang menjadi alasan dibalik pertikaian ayah-anak itu berdehem kecil, tertohok dengan ucapan Aston. Ia bangkit, menatap satu persatu wajah anggota keluarga kerajaan Verbena di hadapannya.
“Mohon maaf atas kelancangan saya karena menyela anda, Your Majesty.” Ellys berucap sopan pada Wilder. Senyuman tipis terbit kala sang raja mengangguk, tanda mempersilahkannya untuk melanjutkan kalimatnya.
Wanita bersurai oranye itu beralih melihat Aston. “Pangeran Aston yang terhormat, maafkan saya jika karena kehadiran saya di Istana Verbena membuat anda merasa tidak nyaman. Saya tidak ber—”
“Apa pun alasan anda, saya tidak peduli. Jikalau anda merasa bersalah, maka lebih baik anda segera meninggalkan Istana ini,” potong Aston sinis. Iris hitamnya menyorot tajam sang lawan bicara.
Tanpa mereka sadari, kedua tangan Ellys kini sudah terkepal kuat di bawah meja.
Jovian yang sedari awal menyimak, dengan cepat menegakkan punggungnya saat menyadari pergerakan Lista dan Wilder. Sudah dipastikan mereka akan menegur Aston dengan keras atas ketidaksopanan-nya.
“Aston—” seruan Lista terhenti kala Jovian menyentuh lengannya. Ia menoleh pada putra pertamanya itu.
“Tenang, Ibunda. Biarkan saya yang berbicara dengan Aston,” ujarnya tersenyum lembut.
Lista menghela nafas panjang. Wanita paruh baya itu memijat pelipisnya dan bersandar, menuruti perkataan anak sulungnya.
Sang putra mahkota bangkit, menatap Aston dan Ellys bergantian.
“Putri Ellys, silahkan kembali duduk. Tidak baik berdebat dengan emosi yang tak stabil,” pintanya dan segera diangguki Ellys.