Sesuai yang telah direncanakan Jovian, kehadiran Ellys yang awalnya ditentang habis-habisan oleh Aston kini dapat menempati ruangan yang bersebalahan langsung dengan kamar pria itu. Begitu pula dengan Alora yang saat ini telah mendapatkan izin untuk tinggal di dalam Istana sebagai pelayan pribadi pangeran kedua dari Republik Verbena.
Tentu saja keputusan tersebut tidak Wilder setujui dengan mudah. Cukup lama Jovian membujuk sang ayah agar menyetujui hal itu, bahkan Lista sang Ibu pun sempat menolak keras usulannya.
Jovian sempat bingung dengan sikap orang tuanya yang secara terang-terangan menunjukan ketidaksukaannya terhadap seseorang, tak seperti biasanya yang lebih halus dalam mengungkapkan rasa tak suka. Namun meski pun demikian pada akhirnya mereka mencapai kesepakatan sesuai apa yang Jovian rencanakan dengan Aston saat di balkon.
Dibalik keberhasilan kecil Jovian dan Aston, seorang wanita yang tengah berada di dalam kamar Aston mendengus keras saat tak menemukan pemilik ruangan bernuansa gelap itu. Ia meletakkan segelas susu yang dibawanya dengan kasar hingga sedikit menumpahkan isinya ke atas meja.
“Pangeran Aston, anda cukup licik, ya. Tcih, ini semua karena wanita rendahan itu! Andai saja dia tak pernah hadir di kehidupan Aston, rencana saya pasti berjalan dengan mudah.” Ellys menggerutu.
Tidak mengherankan ia merasa sebegitu kesal kala mengetahui Aston tak tidur di kamarnya, karena tujuannya dipindahkan adalah agar ia lebih leluasa mendekati Aston kapan pun. Namun nyatanya ia tetap kesulitan berinteraksi dengan pria bermanik hitam legam itu.
Ellys mendudukkan dirinya di tepi ranjang, menatap tajam bantal yang biasa Aston gunakan.
“Saya sangat yakin bila tidak ada pelayan rendahan itu, anda sudah jatuh pada pesona saya, Pangeran Aston.” Ellys berkata pelan. Netra hijaunya beralih menatap lamat-lamat lukisan Aston yang menempel di dinding. Bibirnya tersenyum lembut dan bergumam pelan.
“Sejujurnya saya hanya berniat menjadikan anda pijakan untuk misi saya, namun setelah dipikirkan kembali sepertinya menjadikan anda boneka kerajaan Leighton pun akan lebih menyenangkan.”
Wanita berdarah bangsawan Leighton itu tertawa renyah, merasa jenaka membayangkan Aston yang tunduk dan patuh akan perintahnya. Kendati demikian, tawa itu tak bertahan lama setelah sekelebat bayangan wajah Alora ikut terlintas pada benaknya. Tanpa sadar ia meremas selimut Aston.
“Ah, tentu saja sebelum itu saya harus menyingkirkan si miskin itu. Kehadirannya sangat mengganggu.” Ellys menggeram tertahan. Sorot matanya menajam saat pikirannya dipenuhi ingatan tentang kebersamaan Aston dan Alora saat di Douglas beberapa waktu lalu.
Saking fokusnya mencari keberadaan Aston, Ellys tak menyadari sepasang mata tengah memperhatikan dari atasnya, hingga sesuatu yang hangat dan berair jatuh tepat pada kepalanya.
Tuk!
Tubuh Ellys menegang. Dengan gerakan yang amat pelan, tangannya menyentuh puncak kepalanya. Perasaan tak nyaman segera hinggap kala jemarinya merasakan tekstur lembut dan basah itu. Dengan kaku ia menciumnya kemudian menengadahkan kepalanya.
Di atas sana, seekor burung hantu putih yang terlihat bertengger anggun di atas tiang ranjang Aston menggeram singkat, seolah menyapa Ellys.
Segera Ellys berteriak histeris, terkejut dan merasa jijik dengan sesuatu yang ada di kepalanya.
Mr Owl yang ikut terkejut akan teriakan sosok di bawahnya pun dengan cepat mengepakkan sayapnya dan terbang melalui jendela yang selalu terbuka untuknya.
Para prajurit yang tengah berpatroli di luar kamar berbondong-bondong masuk ke dalam, pun dengan Roselia sebagai pelayan pribadi Ellys. Mereka berlari mendekati Ellys.
“Putri, ada masalah apa? Apakah ada penyusup?” cecar Roselia khawatir.
Ellys menggeleng pelan, nampak air mata yang tertahan di pelupuknya pada wajah tegang itu. Ia menggerakkan bola matanya, mengisyaratkan pelayannya agar memeriksa rambutnya.
Roselia yang memahami dengan segera melangkah mendekat, sebagian prajurit pun ikut melihat hal apa yang membuat putri Leighton itu histeris.
Mereka tediam sejenak, saling melemparkan pandangan dan berusaha menahan tawa setelah melihat musibah kecil tersebut.
Roselia menggigit pipi bagian dalamnya, berusaha sekuat mungkin untuk tak meledakkan tawanya. Ia berdehem, menatap para prajurit di hadapannya.
“Apa yang kalian lihat, hah?! Cepat pergi dari sini!” usirnya dengan wajah memerah.
“Baik, Lady. Mohon untuk lebih berhati-hati,” ujar salah satu prajurit. Ia melangkah mundur, berniat pergi namun terhenti sejenak karena ucapan Ellys.
“Tunggu—” Ellys menjeda ucapannya dan berdehem. “Tolong jangan memberitahukan kejadian memalukan ini kepada siapa pun.”
“Baik, Your Royal Highness.” Prajurit-prajurit itu berseru kompak dan meninggalkan kamar Aston dengan tetap berusaha menahan tawa.
“Lady Roselia, segera siapkan air untuk saya. Tuangkan semua parfum yang kita bawa dari Leighton,” titah Ellys.
“Tetapi, Putri—”
“Segera lakukan apa yang saya perintahkan!” geram Ellys setengah membentak.
Tanpa bertanya lebih, Roselia mengangguk patuh dan mengikuti perintah tuannya.