Tubuh Alora bergetar hebat setelah melihat kedua tangannya yang dipenuhi cairan merah milik Aston. rasa takut dan bersalah dengan lancang menerobos masuk, menguasai dan membangkitkan sisi trauma wanita itu yang belum sembuh.
“R-rayn, Rayn terbunuh karena saya. S-saya, R-rayn—dia terbunuh. Keluarganya, Rostlet karena sa—”
“Lady Alora?”
Masih dengan bibir bergetar, Alora menolehkan wajahnya. Di ambang pintu sana nampak dua pria lengkap dengan pedang dan tas kecil menatapnya terkejut.
Atensi salah satunya bergerak, melirik seorang pria yang tengah tak sadarkan diri dipangkuan Alora. Tanpa menunggu perintah, ia segera melangkah cepat mendekati Aston dan memeriksa keadaan pria tersebut.
Sementara Alora, ia masih menatap kosong pria di ambang pintu sana.
“Pangeran Ozias,” lirih Alora. matanya semakin berair, bahkan ia tak sadar pangeran Douglas itu kini sudah berada tepat di depannya.
Ozias melirik tubuh Aston yang tak sadarkan diri. “Sir Dylon, apakah pria ini masih hidup?”
Dylon sebagai tabib Istana yang diutus Jovian mengangguk, tanda Aston masih memiliki kehidupan. Pria bisu itu menatap Ozias dan beralih melihat Alora.
Seakan paham, Ozias mengangguk. Pangeran Douglas tersebut menarik Alora agar menjauh dari tubuh Aston dan menggendong wanita tersebut.
“Pangeran Ozias, Aston—”
“Biarkan Sir Dylon melakukan tugasnya, Lady Alora.”
Alora terdiam dalam gendongan pria bermantel putih itu. Tatapannya terpaku pada Aston, seakan enggan meninggalkan. Air matanya kembali mengalir melihat keadaan Aston yang lemah dan kacau. Darah yang mulai mengering dan luka lebam memenuhi wajahnya.
“Cukup. Pria anda tidak mati.” Ozias berkata pelan. Ia mendudukkan Alora pada salah satu kursi di sudut ruangan.
Ozias menatap wajah sembab Alora, menghela nafas panjang dan menghapus air mata wanita tersebut. Ia menyentuh kedua bahu Alora yang berhasil membuat fokus wanita itu teralihkan padanya.
“Saya tidak ingin anda kembali kacau seperti saat kematian pria Chopper itu, begitu pun dengan Lord.” Ozias bergumam pelan, sepertinya takut Dylon mendengar perbincangannya.
Alora melirik Dylon. Tabib Istana itu nampak fokus dengan kegiatannya dan bersikap seolah tak ada orang lain di ruangan tersebut.
“Mengapa anda berada di tempat ini?” tanya Alora. Netranya masih memperhatikan wajah Aston.
“Lord meminta anda untuk menemuinya.”
Alora menoleh, menaikkan salah satu alisnya meminta penjelasan lebih.
“Saya pikir Lord ingin menanyakan tugas anda.”
Decakan pelan keluar dari bibir Alora. “Si tua itu benar-benar.”
Ozias tertawa kecil setelah melihat respon Alora yang kurang ajar menyebut tuan mereka. Ia mendudukkan dirinya berhadapan dengan Alora.
“Stempel putra mahkota dan dokumen pengesahan sudah saya temukan.”
“Hm? ” Ozias berdehem, menunggu lanjutan informasi yang Alora dapat.
“Namun—Pangeran Mahkota memindahkannya ke tempat lain, seakan menyadari dan tahu niat saya.”
“Anda melakukan kesalahan saat investigasi?”