Setetes embun pagi terjatuh diujung dedaunan. Suasana tenang dan damai terasa kala aliran sungai menyapa telinga, dipadukan dengan suara benda keras yang menghantam papan kayu.
Di sana, di tepi sungai itu, terlihat seorang wanita bersurai coklat tengah duduk menghadapi bara api, tepat di seberangnya nampak pemuda bermanik violet tengah memotong daging dengan bibir yang sibuk berceloteh tak henti. Ia sangat fokus dengan kegiatannya, sesekali manik indah itu memandang wanita di seberangnya saat ceritanya sampai pada titik keseruan.
“Apa kau tidak lelah, Rayn?” tanya sang wanita memakan setusuk daging panggang yang diberikan sahabatnya.
Bibir tipis itu menunjukkan sederet gigi rapihnya dan menggeleng. “Bersama mu aku tak pernah merasa kelelahan, Alora. Justru sebaliknya, energi ku seolah penuh saat melihat mu.”
“Benarkah? Sangat disayangkan aku selalu cepat lelah saat berinteraksi lama dengan mu,” ujar Alora dengan wajah datar, masih menikmati daging panggang ditangannya.
Pergerakan Rayn yang sedang membolak-balikkan daging terhenti. Pria itu menatap wajah Alora beberapa saat dan menundukkan kepalanya.
“Aku terlalu banyak berbicara, ya? Maafkan a—”
Rayn menghentikan perkataannya ketika wanita di seberangnya itu tertawa kencang, seolah pertunjukan komedi berada di hadapannya. Rayn menyipitkan matanya, merasa kesal kala baru menyadari hal yang membuat sahabatnya itu terbahak.
Sadar akan tatapan Rayn, Alora melipat bibirnya, berusaha keras menahan tawanya.
“Maafkan aku, Rayn. Wajahmu terlihat sangat lucu tadi. Astaga,” ucap Alora kembali tertawa.
“Kau sungguh menyebalkan, Ra. Ku pikir ucapan mu itu serius.” Rayn berdecak. “Oh, ayolah berhenti mentertawakan ku!”
Wanita dengan tas jerami yang selalu terselempang di bahunya itu semakin terbahak setelah melihat wajah kesal Rayn. Hingga kini suaranya pun nyaris tak terdengar. Tangan kanannya memegang perutnya, berusaha menekan gelak tawanya.
Rayn yang melihat itu tanpa sadar ikut tertawa. Mentertawakan seseorang yang tersiksa dengan hormon bahagia yang diciptakannya.
“Alora, demi apa pun berhentilah. Lihat wajah merah mu itu. Aku khawatir bila dibiarkan lebih lama, itu akan meledak,” seru Rayn ditengah tawanya.
“Baik—namun, ku mohon berbaliklah. Aku tak tahan melihat wajahmu.” Alora berkata cepat. Nampak air mata di pelupuknya.
Rayn membulatkan matanya, tetapi tetap mengikuti permintaan sang sahabat. Kini ia memunggungi Alora.
Beberapa menit menenangkan diri, Alora kembali duduk tegak seperti sebelumnya. Netranya menatap lurus ke depan, tepat pada bahu Rayn. Keningnya berkerut, merasa aneh dengan objek yang dilihatnya. Ia sedikit bergeser ke depan dan menyentuh punggung sahabatnya.
“Rayn, darah apa ini? Kau terluka?” tanya Alora khawatir. Wanita itu terheran saat tak mendapatkan respon apa pun dari pria tersebut. “Rayn, apa kau mendengar ku?”
Sekali lagi Alora tak melihat adanya pergerakan sedikitpun dari Rayn. Ia semakin mendekati sahabatnya, namun betapa terkejutnya ia setelah dengan tiba-tiba Rayn menatapnya.
“Ray—”
“Semua ini gara-gara kau, Alora! Kau membunuh keluargaku! Kau membunuh Sir Rostlet! Kau penyebab semua kekacauan ini! Kau pembunuh!” Rayn berteriak lantang.
Wajahnya sirat akan kemarahan dan api kecewa, dengan darah yang melumuri hampir seluruh tubuh bagian atasnya. Leher pria itu tersayat sangat dalam, seolah seseorang baru saja memutuskan urat nadinya.
Alora yang mendapatkan pemandangan tersebut meringsut mundur. Wajahnya pucat pasi, sangat nampak ketakutan dan keterkejutan pada mata sebiru laut itu.
“Rayn, kau—”
Pria dengan leher hampir putus itu mendekati Alora.
“Kau penyebab dari kematian ku! Kau pembunuh! Kau tak layak hidup bahagia, kau tak layak mendapatkan ketenangan!” teriaknya dengan mata membulat sempurna.
Alora menggeleng keras, memohon agar Rayn tak mendekat.
“Tidak! Bukan aku penyebabnya. Aku bukan pembunuh. Aku tak membunuh siapa pun, Rayn.”
“Kau pembunuh!”
Punggung Alora menabrak batu besar. Ia terpojokkan. Wanita itu terlihat sangat ketakutan dengan ucapan dan wujud sahabatnya saat ini. Alora menutup matanya rapat-rapat, menangis ketakutan.
“Tidak! Bukan aku penyebabnya. Aku tak tahu. Rayn, maafkan aku.” Alora berkata lirih. Tubuhnya bergetar hebat.