Sret!
“Alora!” teriak Aston saat busur tajam menembus buku tebal ditangan wanita bersurai coklat itu.
Alora menatap tajam besi runcing dengan ujung berwarna hitam didepan matanya. Beruntung refleks Alora yang sangat baik sehingga ia dengan cekatan menutup buku tebal dipangkuannya dan menjadikannya tameng untuk serangan mendadak tersebut. Namun karena kurangnya kesiapan Alora, jari telunjuk wanita itu sedikit tergores anak panah itu.
Netra birunya bergerak ke arah hutan, menyapu wilayah gelap dari tempat itu. Siluet seseorang yang tengah menuruni pohon terlihat jelas oleh indra penglihatan Alora. Ia meletakkan benda persegi ditangannya dan berlari mendekati pembatas balkon.
Aston yang melihat wanita dengan gaun satin tipis itu berniat melompati balkon, dengan segera menarik tubuh ramping itu. Namun entah karena Alora yang sangat cepat atau ia yang lambat, Aston hanya berhasil menarik jubah wanita itu.
“Sialan!” maki Aston. Ia melihat ke bawah, menatap penuh tanya saat tak menemukan Alora disana. “Kemana per—” ucapan Aston terpotong setelah melihat objek yang dicarinya sudah berada di bibir hutan.
“Bagaimana bisa seseorang berlari secepat itu?” tanya Aston heran. Setelahnya ia segera masuk ke dalam, menyambar mantel dan senapan laras panjang yang ia letakkan di belakang pintu. Aston menunggangi kudanya, menyusul Alora.
Di dalam hutan, wanita dengan gaun tipis dan rambut tergerai bebas itu menyapu penglihatannya pada pepohonan tinggi di sekelilingnya. Berbantu cahaya rembulan yang merambah masuk lewat celah dedaunan, Alora bergerak lincah mengejar siluet pria berjubah coklat tersebut.
Seolah tubuhnya kebal akan rasa dingin yang seakan menguliti, Alora terus berlari tanpa alas kaki dan pakaian tebal untuk menjaga suhu tubuhnya.
Ditengah kejarannya, ia menyadari keanehan akan respon tubuhnya. Ia tak bisa merasakan sakit. Dengan jelas ia mengetahui bahwa kakinya menginjak ranting dan duri tajam di sepanjang hutan tersebut, bahkan ia juga melihat adanya darah yang mengalir dari telapaknya.
“Berhenti!” teriak Alora mengabaikan keanehan tubuhnya.
Sang target yang sudah tahu kondisi Alora menghentikan langkahnya. Dibalik kain hitam yang menutupi setengah wajahnya, ia tersenyum lebar saat melihat kulit Alora yang mulai memucat. Sepertinya busur yang dilepaskan olehnya berhasil menembus kulit Alora.
“Anda tak terlihat baik, wanita rendahan. Saya bisa melihat malaikat maut yang sudah siap membawa anda.” Pria berjubah coklat itu berujar tenang.
Mendengar suara tersebut, kening Alora berkerut dalam. Ia yakin mengenali suara pria itu. Beberapa menit terdiam, ia mengajukan pertanyaan untuk memastikan dugaannya.
“Melihat respon anda, sepertinya target anda adalah saya. Untuk siapa anda bekerja?”
Terdengar kekehan sinis pria itu. “Gelandangan tak akan pernah bisa mengintimidasi saya.”
‘Tidak diragukan lagi. Pria ini adalah pria yang sama yang menyusup ke dalam kamar saya saat di Douglas,’ benak Alora membenarkan.
“Jadi, apa yang anda inginkan dari seorang gelandangan?”
“Kematian anda.” Pria itu berkata dingin. Ia mengambil anak panah dari punggungnya dan membidik Alora.
Berbeda dari sebelumnya, kini Alora dengan lihai menghindari benda panjang dan runcing itu. Ia mematahkan ranting pohon di atasnya, melemparkan kayu berukuran sedang tersebut ke lengan sang lawan.
Busur pria itu terlempar jauh. Tak ingin menyiakan kesempatan, Alora yang melihat lawannya berniat mengambil kembali senjatanya dengan segera berlari dan menendang kuat punggung pria bermantel coklat itu. Alora membalikkan tubuh pria itu dan menghajar wajah yang masih tertutupi kain tersebut.
“Siapa yang memerintahkan anda, keparat!” seru Alora dingin. Ia terus membabi buta wajah di bawahnya.
Bukannya menjawab, pria bermantel coklat itu hanya tertawa, menikmati ekspresi marah Alora. Ia merasa senang karena reaksi sampingan dari racun yang ada pada busurnya mulai mengendalikan wanita itu, yakni mengacaukan pikiran si korban.
“Lady, saya yang membunuh mereka,” ucapnya. Ia tertawa dingin kala serangan Alora berhenti. “Atas perintah Pangeran Aston.”
Deg! Bak tersambar petir, tubuh Alora membeku sempurna. Ia berdiri namun kakinya tak lagi mampu menahan. Nama yang keluar dari bibir pria itu seolah berhasil mengalahkan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja benaknya mengingat perkataan mendiang Rostlet sebelum pria itu wafat.