Peluh yang membasahi seluruh tubuh penghuni ruangan itu seolah membuat mereka tenggelam ke dalamnya. Demi seorang wanita yang terbaring di atas papan kayu dengan air mendidih di bawahnya, Aston yang dikenal tak memiliki perasaan dan bekas kasihan pada siapa pun, nyatanya menjadi orang pertama yang merelakan segalanya untuk wanita tak beridentitas yang hidupnya dipenuhi cemooh dan rasa sakit, juga keputusasaan yang kerap kali mencekiknya.
Keinginan Aston untuk merengkuh kebebasan sejati menuntunnya kepada emosi alami manusia yang selalu ia sangkal keberadaannya.
Dahulu hatinya terbuai dengan kelicikan cinta dan kasih sayang, hingga akhirnya takdir menyadarkan akan kepalsuan yang meracuni. Tidaklah hal yang mudah untuk keluar dari kenyamanan itu.
Sempat ia lelah dan akan menyerah dengan jalannya, sampai akhirnya Tuhan memberikan uluran tangannya melalui wanita yang sedang berjuang antara hidup dan matinya itu, Alora Serye.
“Apakah tak ada cara lain untuk pengobatan ini?” Aston berucap datar. Tatapan matanya tak pernah lepas dari wajah pucat itu.
“Tak ada pilihan lain, Your highness. Racun tersebut sudah menyebar, dan melalui kelenjar keringatnya-lah harus dikeluarkan. Kita tak bisa membiarkannya mengendap terlalu lama,” ucap tabib. Ia mengusap keringat yang ada pada wajah dan leher Alora dengan kain.
Aston menggapai jemari lentik Alora. “Saya tahu anda tak lemah. Berjuanglah. Tidak demi siapa pun tetapi demi diri anda,” bisiknya pelan.
“Your highness, Duke Avio mengunjungi anda.” Interupsi salah seorang prajurit yang menjaga pintu gerbang.
Aston berbalik, “Duke Avio?” tanyanya memastikan. Sebab seingatnya ia tak memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.
“Benar, Your highness.”
Aston menatap wajah Alora dan tabib bergantian, mendengus keras dan berjalan keluar dari ruangan yang sudah disulap seperti sauna itu.
Netra hitamnya menyorot tajam pria berambut merah yang sedang memakan sebutir Anggur di tengah ruangan sana. Ia memperhatikan sekelilingnya, terkekeh saat mengetahui pria itu datang sendiri.
“Anda tak disambung di sini, Duke Avio.” Aston berseru dingin.
Avio yang mendengar suara temannya sontak menoleh ke asal suara. Pria bersurai merah itu berdiri kala sang tuan rumah nampak menuruni anak tangga dan berjalan ke arahnya. Ia menunduk singkat dan tersenyum kecil, “Selamat pagi, Pangeran Aston. Maaf karena datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.”
“Apa yang anda inginkan?” Aston bertanya malas.
Melihat respon tak bersahabat tersebut Avio kembali terkekeh. “Oh ayolah, Pangeran Aston. Tidakkah anda ingin berbasa-basi dengan teman anda ini?” tanya Avio dengan wajah konyolnya.
Aston tersungging miring, mendudukkan dirinya pada single sofa di ruangan tersebut.
“Mengapa anda harus merepotkan diri dengan sesuatu yang sudah melekat pada anda?” sarkas Aston balik bertanya.
Pria bersurai merah itu menggertakkan giginya. Ingin sekali menyerang wajah menyebalkan yang sialnya tampan itu namun sadar akan situasi. Ia menutup matanya, mencoba mengendalikan emosinya sebelum duduk bersebrangan dengan Aston.
“Siapa yang memberitahukan keberadaan saya?” tanya Aston lagi.
Avio tersenyum kecil. Dengan tangan menuangkan air, ia berkata tenang. “Tuhan yang menuntun saya kemari.”
“Tuhan?” Aston tertawa pelan. “Sejak kapan seorang Luther yang kotor mulai percaya Sang suci?” tanya Aston remeh.
Pria bersurai merah yang mendengar pertanyaan tersebut menggebrak meja kaca di hadapannya. Matanya menatap tajam Aston yang masih menyunggingkan senyum miring.
“Luther memilki nama baik dimata para pemuka agama. Keluarga kami banyak berkontribusi dalam pembangunan tempat peribadatan dan acara besar keagamaan. Para orang tua itu tak mungkin menjalankan segalanya tanpa harta keluarga Luther,” geram Avio.
“Sesuatu yang kotor tak akan mengubah sifat awalnya walau dialirkan pada hal suci. Harta kalian tidaklah bersih. Banyak hak orang lain didalamnya.” Aston berujar tajam. “Tidak perlu berteriak atas kebaikan anda pada saya, Duke Avio. Saya memang tak dekat dengan Tuhan, namun setidaknya saya tak pernah bising perihal ketaatan. Hitam akan tetap terlihat hitam walau anda membawanya ke lautan warna lainnya.”
Avio mengatupkan bibirnya mendengar ucapan Aston. Ia menundukkan pandangannya kala manik hitam di hadapannya mengintimidasi. Pria itu salah menyinggung perihal harta dan kekuasaan di depan putra sang penguasa.