Sayup-sayup terdengar bisik gema dari ruangan dengan ratusan senjata tajam yang berjejer rapih. Dentingan keras dari tepahan besi panas di luar menandakan sibuknya para pandai besi yang tengah mengumpulkan pundi-pundi sen demi menghidupi keluarganya.
Di balik pintu kayu itu, Aston dan Liam terlihat berbincang lama dengan pemilik tempat tersebut, Grager. Pria berambut gimbal dengan janggut dikepang itu merupakan pelancong dari negeri timur yang menjalankan bisnis ilegal di pesisir Verbena, lebih tepatnya antara perbatasan Douglas.
Lokasinya yang cukup jauh dari ibukota dua wilayah itu membuatnya dengan leluasa menjalankan bisnis di sana. Para penduduk yang tidak mendapatkan perhatian cukup dari Istana, mendesak mereka intik memilih pekerjaan yang berbahaya dan beresiko. Merampok, menculik, membunuh, atau kejahatan apa pun itu akan dilakukan untuk mendapat bayaran yang tinggi. Sebagian besar penghuni wilayah itu adalah imigran ilegal yangbkabur dari negeri asalnya, entah karena kejahatan atau hanya berniat mendapat tumpangan gratis.
Tentu saja Jovian sesekali berpatroli ke wilayah itu, namun Grager yang licik dengan cerdik mengubah tempatnya menjadi sebuah peternakan babi.
Bisnisnya tak mungkin berjalan lancar tanpa bantuan orang penting dari dalam Istana itu sendiri, Aston. Pangeran kedua Republik Verbena itu memiliki koneksi luas dengan dunia bawah. Aston meyakini tal hanya dirinya yang melakukan hal tersebut, namun bangsawan lain juga. Itu sudah menjadi rahasia umum.
“Your highness, mata panah dan pisau ini berasal dari tempat yang sama. Saya yakin pemiliknya berada dalam Istana.” Grager berucap yakin. Matanya tak lepas dari benda tajam di hadapannya.
Aston menaikkan salah satu alisnya. “Dugaan anda sangat jelas. Apa yang membuat anda seyakin itu?” tanya Aston menelisik.
Grager menunjuk cekungan kecil pada ujung benda tajam itu.
“Cekungan ini sengaja dibuat agar membedakannya dengan senjata yang lain. Permata yang terdapat pada gagang pisau inj menunjukkan karakteristik si pemilik,” ungkap Grager. Ia menatap wajah dua pria muda di hadapannya. “Naluri alami para elite, pemuja keunikan dan kemewahan.”
Aston dan Liam mengangguk membenarkan. Mereka tak membantah karena mereka pun salah satunya. Berapa pun harganya akan dibayar demi menggenggam dua hal itu.
“Anda yakin benda ini bukan dari tempat nda?” Liam bertanya.
Anggukan tegas Grager lakukan. “Kami tak pernah menerima pesanan dari anggota Istana kecuali kalian, Your highness, Sir Liam. Namun saya tahu orang yang mungkin bisa membantu anda.”
Sontak Aston kembali menaikkan alisnya, penasaran dengan kelanjutan ucapan pria di depannya.
“Tunggu sebentar,” ujar Grager berjalan keluar.
Tak menunggu lama, Aston dan Liam segera berbalik badan kala pintu kayu itu berderit, menampakkan Grager dan pria bertubuh gempal yang mengekor di belakang. Kedua bangsawan itu saling lirik, memperingati agar waspada.
“Dia ketua preman di pasar ibukota. Mung—”
“Saya pernah bertemu dengan gelandangan kumal ini.” Aston memotong perkataan Grager. Iris hitamnya menatap tajam anggota baru di ruangan itu. “Kasta rendah yang selalu merampas hak rakyat jelata. Lady Alora salah satu korbannya,” geramnya.
Pria bertubuh gempal itu membulatkan matanya. Cepat-cepat ia berlutut, memohon ampunan.
“Ampuni saya, Pangeran Aston. Lady Alora tidak pernah menjadi target saya. Wanita itu sendiri yang secara suka rela memberikan koin-koin itu pada saya,” ucap pria bertubuh gempal itu.
Penjelasan yang keluar dari mulut preman kelas teri itu membuat Liam mengerutkan keningnya. “Lady Alora bukan kalangan atas yang memiliki banyak harta. Ia tak mungkin memberikan koinnya jika tak ada desakan dari anda. Jangan coba membodohi kami, sialan!”
Pria bertubuh gempal tersebut semakin bersujud, tak berani menatap tangan kanan Aston yang belum sempat ia lihat.
“Tidak mungkin saya berani membohongi anda, Your highness. Saya berani mempertaruhkan kepala saya bila ucapan saya dusta.”
Grager tergelak mendengar perkataan bawahannya itu. Ia menarik kerah mantel pria yang tengah bersujud itu.