WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #59

LIX

Indah dan istimewa. Dua kata yang tepat untuk menggambarkan bangunan tinggi itu. Pilar besar dengan ujung sedikit meliuk dan corak kuno yang mengandung makna pada setiap bentuknya, menjadi hiasan juga penopang bangunan berwarna emas itu. Dikelilingi taman dan aliran air jernih membuat bangunan yang menyimpan singgasana kebanggaan Republik Verbena tersebut dijaga ketat oleh berbagai tingkat keamanan.

Tak jauh dari gerbang Istana, pria bertudung hitam tengah menatap lamat-lamat situasi di dalam sana. Manik setajam Elangnya bergerak cepat ketika melihat rombongan prajurit yang memacu kudanya menuju halaman belakang Istana.

“Darimana mereka pagi-pagi buta begini?” gumamnya dengan bibir sibuk mengunyah Apel.

“Saya pikir mereka sedang mencari anda, Pangeran.”

Aston menelan Apel di mulutnya, menggeleng. “Mereka prajurit perbatasan yang dinaungi langsung oleh ayahanda. Para anjing itutak seharusnya datang ke Istana pada pagi-pagi buta seperti ini.”

“Mungkin ada hal mendesak yang terjadi,” ujar Liam. Sama seperti Aston, mulutnya pun tengah sibuk menghaluskan buah berkulit merah.

“Ayahanda yang menciptakan hal mendesak tersebut.” Aston melangkah maju. “Kembalilah ke Villa dan jaga Lady Alora selama saya di sini. Awasi pekerjaan para tabib dan Avio,” titah Aston pada ajudannya.

Liam yang melihat Aston bergerak, dengan segera menunduk singkat, membiarkan pria tinggi itu memasuki kediamannya.

“Benar-benar tak punya hati. Setidaknya biarkan saya istirahat beberapa jam,” gerutu Liam mengingat dirinya belum beristirahat dari perjalanan jauh kemarin.

“Lady Alora—Alora Serye ... Pasha?” Liam bergumam pelan. Matanya menyipit, tanda menyadari sesuatu. “Pasha, kata ini tak asing. Dimana, ya, saya mendengar kata itu?” ucapnya berusaha mengingat-ingat.

Saat sibuk berpikir, tiba-tiba saja netranya tak sengaja melihat Roselia berjalan mengendap-endap dari balik gerbang samping, sepertinya akan menyelinap keluar. Tatapan Liam turun pada benda yang ada dipelukan wanita itu, sebuah kotak berukuran sedang yang dibalut kain hijau emerald.

Sebelah sudut bibirnya Liam tertarik keatas. “I got you, Lady Roselia. Mari kita lihat apa yang ada dibalik kain itu.”

Liam menaikkan tudung mantelnya dan mengikuti Roselia dari jarak yang tak terlalu jauh dari pelayan pribadi putri Leighton itu. Entah kemana Roselia akan menuntunnya, Liam akan mengikuti. Didalam benaknya, ia yakin benda dipelukan wanita itu adalah hal penting, titipan Ellys untuk seseorang.

Beberapa waktu mengekor, Liam menghentikan langkahnya sekitar lima meter dari posisi Roselia. Jaraknya yang cukup dekat itu memungkinkan ia melihat bahkan mendengar percakapan dengan jelas.

Netra coklatnya menatap sekeliling, mencoba mengamati dan menerka siapa yang akan wanita itu temui.

Dikarenakan kurangnya waktu istirahat, pria bermantel abu itu mendengus lelah. Tak terhitung sudah berapa kali ia menguap lebar. Sedikit saja bersandar maka sudah dipastikan ia akan mendengkur halus.

Masih dengan tatapan lurus memperhatikan punggung Roselia di depan sana, kelopak mata Liam sedikit tertutup. Memilih mengintai seseorang kala tubuhnya kelelahan benar-benar keputusan buruk.

“Bisa saja dia hanya akan bertemu kekasih gelapnya, 'kan?” gumam Liam pada dirinya sendiri. Maniknya mulai terpejam, namun masih pada posisi berdiri dibalik dinding kedai kopi. Ia seolah terbiasa tidur pada posisi tersebut.

Bagai mengigit sebatang cabai, Liam yang beberapa detik lalu baru saja menyapa alam bawah sadarnya seketika tertarik paksa saat seekor semut merah menggigit lehernya. Desisan kecil keluar dari bibirnya, tangannya yang memilki refleks bagus dengan cepat menangkap kayu yang akan jatuh di sisinya, akibat tersenggol kaki. Ia menyentuh lehernya, terasa benjolan kecil yang memanas hasil taring semut merah yang sudah kabur entah kemana.

“Sia, mengagetkan saja!” dengusnya. Sembari mengusap bekas gigitan itu, pandangannya bergerak ke depan. Raut kesal karena sesuatu mengganggu tidurnya segera berganti wajah serius setelah orang asing tertangkapnya dalam retinanya. Ah, bukan orang asing karena ia mengenal wanita dengan mantel merah maroon tersebut.

“Lady Anne Brooklyn—sejujurnya saya tak pernah mengira dirinyalah yang ditemui Lady Roselia.” Liam berkata pelan. Ia mencondongkan tubuhnya, menguping pembicaraan dua wanita itu.

“Anda yakin tak ada yang mengikuti?” Anne bersuara, matanya menatap waspada sekelilingnya.

Tempat itu sepi dan tenang, waktu sibuk dimulai jam delapan pagi, sementara sekarang masih jam empat. Tentu saja semua orang masih bergelung dibawah selimut.

Roselia menoleh ke belakang, mengangguk yakin. “Saya sudah memastikannya berkali-kali, Lady.”

“Memastikan berkali-kali tapi tak sadar tengah diikuti,” ejek Liam.

Lihat selengkapnya