WHITE OWL The Wisdom and Knowledge

Ayesha
Chapter #60

LX

“Jovian!”

Seruan tegas dari ambang pintu kamarnya membuat sang empu yang masih terlelap segera membuka matanya. Ia menolehkan wajahnya, seraya beringsut naik bersandar pada kepala ranjang.

Dengan mata sedikit merah dan sayu ia menggapai segelas air putih di atas nakas. Kondisinya sedang tak terlalu baik sejak perkelahian dengan adiknya itu.

“Anda kembali?” sapa Jovian setelah membasahi tenggorokannya.

“Dimana belati yang membunuh si miskin Rayn dan Rostlet?” tanya Aston enggan berbasa-basi.

Mendapat pertanyaan tersebut, Jovian menaikkan salah satu alisnya. “Mengapa anda menanyakannya?”

Aston berdecak kesal. Netranya menyapu ruangan itu, mencoba mencari benda yang diincarnya. Ia mendekati nakas, lemari, dan beberapa peti, membukanya satu persatu. Decakan juga dengusan keras beberapa kali dilakukannya saat tak kunjung menemukan benda yang didapat.

“Anda tak akan menemukannya di sini.”

“Katakan dimana anda menyimpannya, sialan!” kesal Aston. Iris hitamnya menatap tajam netra biru itu.

Jovian turun dari ranjangnya, mengenakan jubah tidurnya yang menggantung. Pria berambut blonde itu mendekati gordennya, menyibak perlahan. Bahkan sang surya pun masih malu-malu menunjukkan sinarnya, tak seperti adiknya itu yang tanpa malu mendobrak pintu kakaknya.

“Ayahanda sudah memindah tugaskan saya dari kasus tersebut, Aston. Anda sendiri yang memintanya dari Pangeran Ozias,” ujar Jovian dengan pandangan tertuju ke bawah, memperhatikan bunga yang masih berkencan dengan embun.

Aston melangkah lebar ke arah kakaknya. “Kami memberikan belati dan kain itu untuk anda selidiki ... sebagai permintaan konyol anda!” geram Aston. “Dan sekarang anda membuktikan ketidak kompetenan anda atas ucapan anda sendiri.”

Bibir tipis itu tersenyum kecil. Alam bawah sadarnya diam-diam menjawab kekesalan adiknya itu. Kebenaran yang tengah dipikulnya membuat ia harus berpikir keras membuat strategi aman untuk membaginya dengan sang adik. Mungkin tidak sekarang. Setidaknya sampai ia benar-benar menggenggam cukup bukti untuk menggulingkan si pelaku.

“Kemana anda membawa Lady Alora?” Jovian mengalihkan topik.

“Bajingan! Tak mengerti bahasa manusia, hah?!” murka Aston.

Jovian memutar tubuhnya, menatap wajah Aston yang merah diambang batas kesabarannya.

“Apa yang akan anda lakukan dengan belati itu?”

“Memotong lidah tak berguna anda.”

Jovian terkekeh pelan. “Kalau begitu tak sepatutnya saya membahayakan diri saya.”

“Jovian! Anda betulan ingin mati, ya?” tanyanya rendah penuh penekanan.

“Baiklah, namun saya meminta syarat untuk itu,” ucap Jovian tersenyum kecil.

Aston menggertakkan giginya, menatap tajam pria dengan tinggi yang hampir menyamainya itu. Selang beberapa detik terdiam, hembusan nafas berat dilakukannya. Aston mengangguk malas.

“Cepat katakan,” ucap Aston menurunkan intonasinya.

“Antarkan saya kepada Lady Alora. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan wanita itu.”

Mendengar permintaan Jovian sontak Aston terdiam. Bagaimana bisa ia membawa kakaknya itu kepada Alora sementara wanita itu pun sedang sekarat. Itu mustahil pikirnya.

“Saya wali wanita itu. Bicarakan dengan saya.”

“Tidak. Saya hanya akan mendiskusikan dengan lady. Dimana ia?” tanya Jovian penasaran.

Lihat selengkapnya