Aku tersenyum canggung ketika ibu dari Zahra menyuguhkan banyak camilan. Dugaanku ternyata salah, kukira beliau adalah sosok yang kaku, tetapi ramah sekali. Aku belum melihat keberadaan anggota keluarga yang lain.
Zahra membuka laptopnya. Ia mengenakan gamis hitam dipadu kerudung berwarna lilac. Mirip sekali dengan ibunya, sama-sama cantik. Kurasa gen keluarga ini baik.
"Aludra udah ngirim makalahnya tadi siang. Kamu pilih mau gunain template yang mana." Aku menangguk, lantas mengecek beberapa template di layar laptop. Banyak sekali yang cantik, namun tujuanku mencari yang sederhana. "Warna abu aja, yang ini," kataku seraya menunjuk template yang kumaksud.
"Bagus," pujinya. Memang, ya Zahra cewek yang baik.
"Kamu duluan yang nulis, aku mau istirahat bentar. Jauh banget ternyata rumahmu," keluhku. Biar saja Zahra tau seberapa besar perjuanganku untuk bisa sampai ke sini. "Maaf, ya gara-gara aku kamu harus ke sini. Kamu istirahat aja dulu."
Aku segera mengambil es jeruk yang sudah disediakan. Tidak lupa mengambil brownies. Enak sekali jadi Zahra, semua makanan tersedia. Coba saja Mama seperti ini, betah aku di rumah.
Orang tuaku sibuk dengan pekerjaannya. Bisa dibilang aku adalah anak dari asisten rumah tangga. Dari baru lahir sampai besar seperti sekarang tidak pernah aku diajak jalan-jalan. Sarapan bersama saja bisa dihitung, kira-kira lima kali dalam setahun. Seperti salat saja.
Terbiasa hidup tanpa dampingan orang tua, kadang kala membuatku ingin mencari perhatian lebih. Contohnya, sewaktu SMP aku sengaja menjahili teman sekelasku dengan menaruh permen karet di kursinya. Lalu, masih di hari yang sama aku memukul teman lelakiku dengan sengaja. Aksiku berhasil membuat guru BK memanggil orang tuaku. Kupikir mereka akan datang, namun hanya mengutus asisten rumah tanggaku lagi.
"Kamu deket sama Aludra?" tanyaku basa-basi. Zahra tidak mengalihkan fokusnya dari laptop. "Nggak bisa dibilang deket juga, sejak kelas sepuluh udah satu kelas. Terus satu organisasi juga."
Aku mengangguk mengerti. "Kamu juga sama kayak Aludra, ya?"
"Maksudnya?" tanyanya bingung. "Anti deket-deket sama lawan jenis," ucapku. Zahra terkekeh kecil, kupikir dia lebih baik ketimbang Aludra.
"Kan memang nggak dibolehkan, bukan anti."
"Paling nggak jangan bersikap seakan-akan aku kotoran, dong," protesku.
"Memangnya Aludra bersikap gimana?"
Oh, luka lama yang harus kuceritakan ulang. Baiklah mari mulai bercerita. Saat itu, tepatnya ketika jam istirahat tiba. Aku berjalan di koridor yang lumayan ramai. Dari arah berlawanan, Aludra juga sedang berjalan sambil memainkan ponsel. Tepat ketika kami berpapasan, ada seseorang yang menyenggolku. Alhasil aku menyenggol Aludra, sedikit kuat terbukti ponselnya terjatuh. Karena reaksiku yang cepat, segera kuambil ponsel Aludra dan menyerahkannya seraya meminta maaf. Ia malah mengatakan taruh saja di lantai, awalnya aku bingung namun tetap kulakukan. Begitu aku menaruh di lantai dia mengambilnya dan berlalu. Beberapa murid yang melihat menertawakan.
"Meskipun bukan mahram tapi nggak kayak gitu juga kali. Bisa aja dia ambil, tuh ujung ponsel."
"Aludra sikapnya emang sedikit cuek."
"Bukan cuek dia, mah emang dasarnya nyebelin. Untung nggak satu kelas sama dia."
"Kalo udah kenal sama dia, baik orangnya," ucap Zahra yang terdengar di telingaku sebagai pembelaan. Aku tahu Aludra temannya, namun bisakah kali ini dia memihakku?