Why Fall in Love?

AkuOsa
Chapter #4

#4

Aku berdiri mamandang cowok-cowok sok keren yang berebut bola di lapangan. Istirahat sudah dimulai dari 10 menit yang lalu, daripada mengikuti Salsa ke perpustakan lebih baik duduk di bawah pohon.

Sejak pagi, aku belum melihat Bibo. Di jam pertama dia tidak masuk, ada dua kemungkinan. Pertama memang dia tidak sekolah, kedua dia bolos. Oh, seharusnya dia bilang kalau mau bolos. Malas sehabis ini ada matematika peminatan. Prinsipku, kalau tidak minat yasudah tidak perlu diperhatikan lagi.

"Qi, dipanggil Bu Cici di kantor," kata Milo--teman satu organisasiku. Aku mengiyakan lantas segera berlalu. Seratus persen yakin kalau Bu Cici akan memaksaku untuk mengikuti lomba solo song. Padahal aku sudah menolak dan lagi pula kelas duabelas sudah tidak diperbolehkan mengikuti perlombaan. Heran, padahal suaraku tidak bagus-bagus amat.

"Selamat siang, Ibu," ucapku begitu berhadapan dengan Bu Cici. Aku duduk dengan sopan setelah beliau mempersilakan. Di ruang kantor ramai sekali para guru. Beberapa siswa juga sedang menghadap, malah sempat kulihat ada yang sedang menangis. Ah, paling kasus membawa lipstik atau rokok ke sekolah.

"Gimana sekolahnya, lancar?" tanya Bu Cici.

Guru agamaku selalu mengajarkan agar tidak boleh berbohong. Kalau aku mengatakan lancar, berarti aku tengah berdosa. "Biasa aja, Bu," ucapku setengah berbohong. Ya, paling tidak dosaku bertambah sedikit.

"Kenapa? Kurang semangat?"

"Dari dulu, kan saya nggak semangat sekolah. Kalau bisa saya langsung kaya, Bu."

Bu Cici terkekeh mendengar jawabanku. "Ibu langsung ke intinya, ya. Bapak kepala sekolah sudah mengizinkan kamu untuk menjadi perwakilan sekolah dalam lomba solo song tingkat nasional. Jadi, kamu sudah tidak punya alasan untuk menolaknya."

Wah, sudah kuduga akan seperti ini. Memangnya masih butuh piala yang aku hasilkan. Kutengok satu lemari di lobi adalah pialaku. "Kenapa nggak Hani aja, Bu. Dia suaranya bagus dan masih kelas sepuluh. Hitung-hitung buat pengalaman dia," tolakku secara halus.

Bu Cici menggeleng. "Kalau mau dijadikan pengalaman, Hani saya ikutkan lomba yang lain. Perlombaan ini sangat penting untuk sekolah kita, jadi kami semua berharap kamu melakukan yang terbaik."

Apa kalian pernah dihadapkan pada situasi yang menyebalkan. Mungkin Salsa juga pernah kesal menjadi murid cerdas di beberapa kesempatan. Seperti selalu ditunjuk guru untuk membagikan lembar ulangan, disuruh mengoreksi jawaban kuis, dan disuruh untuk mengajark adik kelasnya lomba olimpiade.

Bukannya aku tidak bersyukur diberikan kelebihan ini, hanya saja aku tidak suka dipaksa. "Baik, Bu. Nanti saya mulai latihan," jawabku pada akhirnya.

Saat aku membawa pulang piala setelah memenangkan lomba, tidak tampak raut wajah bahagia yang tergambar pada otang tuaku. Padahal kebanyakan orang tua senang melihat anaknya berprestasi. Mungkin itu alasan aku sering dipaksa mengikuti lomba karena hatiku tidak tergerak.

Lihat selengkapnya