Why Fall in Love?

AkuOsa
Chapter #6

Jadi kapan?

Sudah dua hari berlalu sejak namaku booming disandingkan dengan Aludra. Kini, sekolah kembali seperti biasanya dengan aktivitasnya masing-masing. Jujur, aku bersyukur gonjang-ganjing ini tak berniat lama. Sebab, aku tak enak hati dengan Aludra. Takut dia merasa risih.

Kini aku tengah menikmati risol mayo dipadukan es teh hambar. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan teh ini tak ada rasa. Pertama, Mang Ulil lupa menambahkan gula dan yang kedua teh ini tertukar dengan pesanan murid lain. Meski begitu, aku tetap meminumnya. Hitung-hitung melakukan aktivitas orang dewasa, menjaga kesehatan tubuh dengan mengurangi konsumsi gula.

Jangan tanyakan di mana Salsa, dia sedang ambis dengan rangkuman materi. Sehabis jam istirahat siang ini ada kuis matematika, jadi dipastikan dia tidak akan terbuai oleh sepotong risol. Mana mau dia mempertaruhkan nilainya dengan jajanan seharga dua ribu rupiah.

Bibo? Namanya orang kasmaran, pagi, siang, sore, malam isinya hanya bucin dengan pacarnya. Apa hanya aku yang tidak peduli dengan kuis dan kisah cinta putih abu? Aku saja bingung sebenarnya hidup ini mau dibawa ke mana.

Ekor mata ini mendapati sosok Aludra berjalan dari pintu kantin. Aku yakin dia sehabis sholat langsung ke sini soalnya rambut basahnya masih jelas terlihat. Dia tidak sendiri melainkan dengan teman cowok yang selalu dengannya.

Aku menjadi salah tingkah ketika mereka berjalan mendekat ke arahku. Sudah jelas mereka akan duduk di mana, karena hanya tersisa satu meja kosong dan itu persis di sampingku. Samping yang aku maksud itu perbatasan antara laki-laki dan perempuan. "Qiyu, ya?" tanya teman Aludra begitu sampai di meja yang aku maksud. Aku tersenyum kikuk sambil menjawab membenarkan pertanyaannya.

"Gue Dino, teman sehidup sematinya Aludra." Ah, kini aku tahu namanya. Aku pastikan Dino adalah juru bicara dari Aludra. Mengingat cowok itu tidak banyak bicara terlebih dengan lawan jenis.

Kami kembali dengan kesibukan masing-masing. Aku yang bersusah payah mengontrol mimik wajah dan untuk tidak melirik ke meja sebelah. Jujur, aku ingin melihat Aludra. Bagaimana wajahnya, apakah dia sama denganku yang lebih terlihat gugup. Sisa keberanianku akhirnya terpakai, ekor mata ini mencoba melihat ke samping. Namun, tidak terlihat dengan jelas. Jadi, aku langsung saja menoleh ke samping. Cukup lama, hingga membuat Aludra menoleh juga ke arahku. Hanya dengan hitungan detik cowok itu kembali menghadap ke Dino. Bahkan, aku sangat yakin dia tidak melihat ke mataku.

Risol dan es tehku sudah habis. Sekarang aku memikirkan bagaimana sikapku ketika akan pergi. Apakah perlu untuk berpamintan dengan mereka? Bagaimana aku harus mengatakannya?

"Aku pamit duluan, ya," ucapku tampak kaku. Dino menoleh, "Oke. Kalau papasan di koridor atau mana pun jangan sungkan negur, ya." Aku mengangguk mengiyakan dan segera pamit undur diri. Jangan tanya bagaimana sikap Aludra, cowok itu asyik dengan soto di hadapannya. Jangan kan berbicara, melirik saja tidak dilakukannya.

***

Matahari terik sekali hingga kepalaku mendidih. Kuis matematika tadi sukses membuat otaku berasap, ini matahari ikut-ikut memanasi. Ah, menyebalkan sekali. Walau aku memang sadar akan kemampuan dalam mengerjakan soal matematika, tetap saja aku kesal karena hanya menjawab dua soal dari lima. Itu saja belum tentu jawaban yang kutulis dalam selembar kertas benar.

"Mau ikut aku nggak?" tanya Salsa di gerbang depan setelah sopir pribadinya tiba. Aku menimang terlebih dahulu. Jika aku mengiyakan pasti akan membuat repot nanti, pasalnya Salsa akan pergi ke tempat les.

Lihat selengkapnya