Wicked Game

Hendra Purnama
Chapter #1

Seorang Lelaki di Gerbong Tengah

Suara kereta api adalah sebuah metronom yang sempurna. Demikian pikir lelaki itu sambil menatap ke luar jendela. Kini dia sedang duduk di sebuah kursi kereta kelas ekonomi yang melaju cepat. Berangkat malam hari menuju ke arah barat. Ia duduk diam, mengenang perjalanan ini yang hampir saja batal terlaksana. Beberapa detik saja ia terlambat naik, maka tentu saja ia akan tertinggal. Ia datang ke stasiun ketika petugas peron akan meniup peluit keberangkatan. Tergesa ia bersicepat dengan peluit dan jarum detik. Namun suka tidak suka ia tetap tertahan di meja pemeriksaan, ia harus menunjukkan tiket dan kartu identitas, petugas yang ada di sana seolah tak peduli bahwa lelaki itu harus menaiki kereta yang mesinnya sudah mulai menyala. Ia tetap memeriksa dengan kecepatan yang semestinya. Lelaki itu menjadi gelisah, ketika ada dalam kondisi seperti itu, detik berjalan sangat lambat, seperti mempermainkan perasaan. Lelaki itu menatap petugas yang sedang mencocokkan kartu identitas dengan nama di tiketnya, terasa sangat lama. Meskipun memang ia tak mengejar apapun di kota tujuan dan punya cukup uang untuk membeli tiket kereta berikutnya, namun saat ini ia tetap merasa harus segera pergi dan tak merasa perlu terlibat dalam drama seperti ketinggalan kereta yang sudah ada di depan mata.

Hingga akhirnya, tepat ketika peluit keberangkatan ditiup, petugas di meja periksa menyerahkan tiket serta kartu identitasnya. Dengan tergesa lelaki itu memburu jalur keberangkatan. Untunglah ia cukup akrab dengan stasiun kereta ini, sehingga tidak merasa kesulitan menemukan jalur kereta yang dimaksud. Ia mencari pintu manapun yang masih terbuka, lalu melompat masuk tepat ketika kereta bergerak. Badannya limbung sejenak karena hentakan pertama kereta selalu demikian kuat, tapi ia sempat berpegangan, lalu menarik napas sejenak. Menenangkan diri, hembusan napasnya begitu rupa seolah lelaki itu sedang melepas dari beban berat, atau kelegaan yang sangat karena apa yang diimpikannya sudah tercapai.

Sejenak kemudian ia seolah baru tersadar bahwa dirinya masih berdiri di pintu masuk antara sambungan dua gerbong. Dia mendongak, melihat nomor gerbong yang ia masuki. Ternyata kurang lebih berada selisih tiga gerbong dengan gerbong tempat duduknya. Ia lalu memantapkan ransel besar di pundaknya lalu mulai bergerak ke gerbongnya. Dilewatinya wajah-wajah penumpang tentu saja tak dikenalnya. Ia bersyukur. Ia sedang tak ingin bicara dengan siapapun, ia ingin merenung menikmati perjalanan ini; dan semesta pun tampaknya berpihak padanya. Ketika tiba di kursinya ia mendapati deretan kursinya kosong. Memang ia sudah membeli tiket kereta kelas eksekutif yang biasanya sepi penumpang, namun tetap saja tidak tertutup kemungkinan ia bertemu orang lain di deretan kursinya. Sesuatu yang menyebalkan adalah harus bertemu orang lain, dan menyapa serta bermuka manis ramah saat kita sedang tak ingin melakukannya. Demikian lelaki itu berpikir, dan memang seperti itulah ia biasa berpikir.

Ia membereskan tasnya ke kompartemen atas, lalu menghempaskan diri ke kursi. Segera irama laju kereta menyungkupnya. Di sana ia menghitung diam-diam dan mengagumi konsistensi ketukan roda kereta serta suara mesin. Di sanalah ia mulai berpikir tentang metronome. Sejak pertama kali ditemukan oleh Abbas ibn Firnas dan dipatenkan oleh Johann Maelzel di tahun 1815, benda itu telah membantu jutaan musisi memastikan mereka mendapat ketukan dengan interval yang stabil. Metronom, membuat musik menjadi stabil, tapi apakah metronome bagi kehidupan? Atau salahkah ketika seseorang mengharap kehidupan yang stabil? Atau apakah kehidupan yang stabil itu tidak mungkin ada? Demikian laki-laki itu kembali berpikir.

Sementara itu matanya lekat memandangi segala sesuatu di luar jendela kereta. Malam belum cukup pekat untuk menyembunyikan semuanya, sehingga lelaki itu masih bisa melihat segala benda yang bergerak ke belakang: pepohonan, rumah-rumah kumuh, rumah-rumah megah, pedagang makanan, kedai kopi, anak-anak yang sedang bermain, jembatan, air sungai, lalu entah dari mana datangnya tiba-tiba gerimis turun menghampiri. Menciptakan jejak basah nan halus di kaca jendela. Lalu mendadak sekali lelaki itu merasa lelah. Bukan kelelahan yang biasa, tapi semacam kelelahan yang lama terpendam, namun baru keluar sekarang karena suatu sebab yang memicunya. Apakah karena gerimis ini?

Memang benar, lelaki itu merasa sudah terlalu lama dia tidak menyediakan ruang di dalam kehidupannya untuk merenungi sesuatu. Padahal dia suka melakukannya dahulu. Kini dalam kondisi duduk sendirian di barisan bangku sebuah gerbong kereta api, dia merasa menemukan momentum untuk merenung. Merenungi gerimis? Bukankah itu terlalu melankolis? Sejenak ia mulai menyadari perjalanannya saat ini mungkin sebuah perjalanan yang memiliki arti melankolis. Semacam mengusung romantisme masa lalu. Sebuah perjalanan yang akan selamanya mengubah kehidupannya. Mungkin ini suatu kemunduran, tapi lelaki itu merasa tak ada salahnya melakukan sebuah kemunduran. Mundur sejenak, untuk menatap arah dan menentukan langkah-langkah sebenarnya bukan sesuatu yang buruk. Malah mungkin diperlukan. Lagipula, siapa yang menetapkan standar sebuah kemunduran? Maka alih-alih menurunkan semangatnya, gerimis yang menjejak di jendela itu malah menghadirkan sedikit harapan, semacam harapan yang dikenalnya pada masa kecil dulu. Harapan anak kecil di mana tak ada yang bisa merenggutnya sama sekali.

Lihat selengkapnya