“Mimpi adalah sebuah cerita tak berakhir.” Demikian aku membaca kalimat itu di sebuah buku karya seorang penulis Slovakia bernama Spln Myar. Kalimat itu ada dalam bukunya yang berjudul Bratislava's Biggest Playboy, yang lebih merupakan catatan harian ketimbang novel. Di sana Spln bicara tentang mimpi di bab awal. Dia percaya bahwa mimpi tak pernah memiliki ending. Mimpi selalu putus di tengah jalan dan tak berkesudahan. Myar menulis, seseorang bahkan bisa terbangun, tidur lagi, dan melanjutkan mimpinya tanpa batas. Itu tandanya sebuah mimpi tidak benar-benar memiliki akhir.
Dalam buku tersebut, Myar bercerita tentang seorang anak lelaki yang memiliki mimpi sederhana: ingin mengambil buah entah apa yang berada di pucuk sebuah pohon di puncak sebuah bukit. Aku sudah lupa apa yang membuatnya ingin melakukan itu, tapi mengambil buah itu sedemikian sulit hingga anak itu sampai bermimpi melakukannya dan dalam mimpi itu dia terus menerus ditunjukkan rangkaian-rangkaian pengelihatan yang berkaitan dengan buah itu. Ketika anak tersebut berbicara tentang mimpinya kepada seorang tua, keluarlah kalimat di atas tadi. Kalimat itu menyadarkan si anak bahwa buah di pucuk pohon itu bukanlah tujuan sebenarnya. Ada satu hal yang ingin dia raih dengan mengambil buah itu.
Aku membaca cerita itu sudah lama, lewat sebuah buku yang tertinggal di café ini. Seorang pelanggan mungkin tak sengaja meninggalkannya, atau malah memberikannya karena sama sekali tidak pernah ada yang mencari-cari buku itu, tidak ada yang bertanya padaku apakah bukunya tertinggal atau tidak. Aku membacanya setelah buku ini tiga hari kupajang di meja bar. Tidak ada satupun yang meliriknya atau membacanya. Aku mulai membacanya pada satu sore yang sangat membuatku tertekan, ketika itu uang sewa sudah jatuh tempo dan aku tak punya uang. Café ini baru berdiri dan aku belum punya keuntungan. Aku merasa tidak semangat melakukan apapun, lalu aku melihat buku itu tergeletak di meja bar, buku itu kulewati saja selama beberapa hari, dan baru ini aku sadari.